Pemeriksaan BPKP: Kasus Jiwasraya Terindikasi Korupsi

Kamis, 09 Januari 2020 | 11:12:10 WIB
Ketua BPK Agung Firman Sampurna

Iniriau.com, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memaparkan hasil pendahuluan audit investigasi atas kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero), kemarin (8/1). Menurut BPK, kasus Jiwasraya berisiko menimbulkan dampak sistemis terhadap perekonomian Indonesia.

Menurut hasil audit investigasi BPK, pengelolaan perusahaan perlindungan jiwa milik negara itu mengindikasikan praktik korupsi dan penyimpangan hukum lainnya. Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati mengambil kebijakan dalam menyelamatkan Jiwasraya. "Kasus Jiwasraya besar skalanya, bahkan saya katakan gigantik, sehingga memiliki risiko sistemik,” kata Agung dalam konferensi pers di kantor BPK, Jakarta, Rabu (8/1).

Mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, dampak sistemis adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan suatu bank, lembaga keuangan bukan bank, dan/atau gejolak pasar keuangan. Apabila masalah tidak diatasi, dapat menyebabkan kegagalan lembaga keuangan lain hingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.

Agung menambahkan, audit investigasi terhadap Jiwasraya masih berlangsung. Ia berjanji merampungkannya dalam waktu dua bulan dan mengungkap besaran kerugian negara dari kasus Jiwasraya. “Masalahnya akan tetap kita ungkap dan mereka yang bertanggung jawab akan kita identifikasi,” ujar Agung.

Berapa kerugian negara dalam kasus ini? BPK mengaku belum punya angkanya. BPK sudah merampungkan pemeriksaan lain atas Jiwasraya, yakni pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). PDTT dilakukan atas permintaan Kejaksaan Agung (Kejakgung) dan Komisi XI DPR RI.

Agung menjelaskan, berdasarkan hasil pemeriksaan pada 2016, BPK menemukan sebanyak 16 temuan terkait pengelolaan bisnis Jiwasraya selama 2014-2015. Temuan tersebut antar lain berkaitan dengan investasi pada saham PREO, SUGI, dan LCGP yang tak didukung oleh penempatan saham yang memadai. Lalu, Jiwasraya berpotensi menghadapi gagal bayar atas transaksi investasi pembelian medium term notes (MTN) dari PT Hanson Internasional.

Jiwasraya juga tak optimal dalam pengawasan reksadana yang dimiliki. Selain itu, Jiwasraya menempatkan saham dengan cara tak langsung ketika perusahaan dalam kinerja buruk.

Temuan-temuan pada 2016 itu ditindaklanjuti BPK dengan melakukan pemeriksaan investigasi pada 2018. “Hasilnya menunjukkan adanya penyimpangan-penyimpangan yang berindikasi fraud atau kecurangan, dalam pengelolaan investasi dan saving plan,” ungkap Agung.

Ia menambahkan, Komisi XI DPR RI pada 2019 juga kembali meminta BPK melakukan pemeriksaan investigasi pendahuluan dan penghitungan keuangan negara. Pemeriksaan menghasilkan sedikitnya lima kesimpulan. Hal paling penting, menurut Agung, hasil audit menemukan kondisi runyam dalam pengelolaan Jiwasraya sudah terjadi sejak 2006.

Agung mengatakan, sejak tahun itu, terjadi rekayasa dan manipulasi laporan keuangan agar Jiwasraya berada dalam kondisi untung. “Laba semu,” kata Agung.

Padahal, kata Agung, audit BPK membuktikan bahwa keuangan Jiwasraya dalam kondisi yang merugi. “Sebagai akibat dari rekayasa akuntansi atau window dressing, di mana perusahaan sebenarnya mengalami kerugian,” ungkap Agung.

Manipulasi akuntansi tersebut mencapai puncaknya pada 2017. Saat itu, pembukuan Jiwasraya mencatatkan keuntungan sebesar Rp 360,3 miliar. Namun, BPK saat itu memberikan opini tidak wajar karena adanya kecurangan dalam kekurangan cadangan keuangan sebesar Rp 7,7 triliun.

Kekurangan uang cadangan tersebut berdampak pada pembukuan pada 2018 yang mencatatkan rugi sebesar Rp 15,3 triliun. Sampai September 2019, kata Agung, kerugian tersebut tercatat Rp 13,7 triliun.

Adapun pada November 2019, audit BPK menebalkan kondisi Jiwasraya yang mengalami kerugian sebesar Rp 27,2 triliun. “Kerugian itu karena PT AJS menjual produk saving plan dengan yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi yang dilakukan secara masif sejak 2015,” kata Agung.

Agung melanjutkan, Jiwasraya menginvestasikan kembali dana //saving plan// tersebut ke dalam instrumen saham dan reksadana berkualitas rendah yang memicu terjadinya negative spread. “Pada akhirnya, mengakibatkan tekanan likuiditas pada PT AJS yang berujung pada gagal bayar,” ujar Agung.

Dalam pengelolaan produk saving plan, manajemen Jiwasraya juga disebut melakukan berbagai penyimpangan yang terindikasi korupsi dan penyalahgunaan kewenangan. Di antaranya adalah penunjukan kepala bancassurance yang tak sesuai ketentuan, juga penunjukan langsung jajaran direksi tanpa pelibatan divisi yang menentukan serta penetapan saham saving plan yang tak mempertimbangkan kemampuan.

“Dalam pemasaran produk asuransi saving plan, diduga terjadi konflik kepentingan karena pihak-pihak terkait di PT AJS mendapatkan fee atas penjualn produk tersebut,” kata Agung. (republika)

Terkini