Pekanbaru, iniriau.com-Wakil Ketua DPRD Riau Hardianto meminta berbagai pihak tidak menggiring opini untuk menciptakan konflik horizontal antara Sumbar dengan Riau. Hal itu diungkapkan Hardianto terkait ungkapan "pitih sanang" (uang senang) yang kini menggelinding menjadi bola liar di publik.
"Masalah polemik pembayaran pajak air permukaan (PAP) PLTA Kota Panjang itu adalah ranah goverment to goverment atau G to G untuk dibahas dan dicarikan solusi terbaiknya, bukan santapan untuk menggiring opini liar hingga membenturkan satu sama lain," ujar Hardianto, politisi Gerindra ini berang.
Lebih jauh Hardianto mengungkapkan, masalah PAP PLTA Koto Panjang ini sebaiknya menjadi agenda pembahasan kedua daerah, yakni Riau dan Sumbar, agar ada titik temu dalam menyikapi persoalan tersebut.
"Kedua daerah sebaiknya membuka ruang diskusi, duduk satu meja untuk menyatukan persepsi mengenai persoalan PAP PLTA Koto Panjang ini, agar tidak mengundang polemik terus. Mungkin nanti bisa juga melibatkan kementrian dan PLN, karena ini menyangkut kepentingan dua daerah," sebutnya.
Apresiasi Komisi III
Hardianto menjelaskan, istilah "pitih sanang" yang akhir-akhir ini mencuat dan memancing reaksi Gubernur Sumbar Irwan Prayitno untuk berkomentar, bukanlah perkataan dirinya. Pernyataan itu dikutip saat ia dalam rapat paripurna menyampaikan apresiasi untuk Komisi III DPRD Riau yang berhasil "mengembalikan" PAP Koto Panjang dari Sumbar ke Riau, hingga pajak PLTA Koto Panjang yang sebelumnya dibayarkan ke Sumbar kini resmi menjadi PAD Riau.
"Itu sebuah prestasi. Sebagai pimpinan dewan saya ingin mengapresiasi kinerja Komisi III, wajarkan? Tetapi saya gerah ketika tiba-tiba muncul istilah "pitih sanang" yang menjadi lebih dominan dIbahas daripada prestasi yang dicapai Komisi III DPRD. Saya merasa tidak pernah diwawancara wartawan bersangkutan," ujar Hardianto membela diri.
Kabarnya istilah "pitih sanang" tersebut kini menjadi bahasan hangat juga di lingkungan pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Gubernur Sumbar Irwan Prayitno bahkan mengatakan istilah tersebut sangat melukai hati masyarakat Minang. (Lna/rls).