Kuasa Hukum Tersangka Korupsi Tugu Anti Korupsi akan Lakukan Prapid

Selasa, 00 0000 | 00:00:00 WIB
Razman Arif Nasution, SH,S.Ag, MA, Ph.D, kuasa hukum 9 orang dari 18 orang tersangka dugaan korupsi pembangunan Tugu Anti Korupsi dan ruang terbuka hijau (RTH) akan mengajukan Praperadilan atas penetapan tersangka kliennya. Hal ini dikatakan Razman

PEKANBARU - Razman Arif Nasution, SH,S.Ag, MA, Ph.D, kuasa hukum 9 orang dari 18 orang tersangka dugaan korupsi pembangunan Tugu Anti Korupsi dan ruang terbuka hijau (RTH) akan mengajukan Praperadilan atas penetapan tersangka kliennya.

Hal ini dikatakan Razman Arief dalam konferensi pers di salah satu hotel berbintang di Pekanbaru, Jum'at (10/11/17) siang.

Menurut Razman, penetapan tersangka kliennya hanya berdasarkan sangkaan persekongkolan. Sebab, tidak ada tersangka utama dalam perkara tersebut.

9 tersangka itu adalah, Ketua Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) Provinsi Riau Ikhwan Sunardi, Sekretaris Pokja, Hariyanto dan anggota Pokja Desi Iswanti, Rica Martiwi dan Hoprizal.

Selanjutnya, anggota Tim Provisional Hand Over (PHO) Adriansyah dan Akrima, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Yusrizal dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Sumber Daya Air Provinsi Riau sekaligus Pengguna Anggaran, Dwi Agus Sumarno.

"Kami akan praperadilan. Kami daftarkan pekan depan," tegas Razman.

Masih menurut Razman, seharusnya dalam perkara ini jaksa fair. Karena tidak adanya tersangka utama. "Yang menjadi aneh seharusnya ada tersangka utama," ujarnya.

Diungkapkan Razman, dari surat pemberitahuan para tersangka dalam perkara ini hanya masuk pada persekongkolan, kerjasama, permufakatan.

"Harusnya ada penerima suap," ujar Razman lagi.

Sesuai keterangan Dwi Agus Sumarno, ungkap Razman, pembangunan RTH Tunjuk Ajar Integritas (Tugu Anti Korupsi), itu dilakukan atas permintaan Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman.

Kepada Dwi, gubernur mengatakan, karena sudah tiga orang gubernur masuk penjara. Untuk itu, Arsyadjuliandi Rachman meminta agar dibuat pakta integritas untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.

"Gubernur tidak boleh berdiam diri," tegasnya.

"Karena ini perintah gubernur, dia memanggil staf terkait. Dwi kemudian berkoordinasi sampai ke Jogja (Yogyakarta) dalam mendesain seperti apa pakta integritasnya," terang Razman.

Ditambahkannya, Dwi juga sempat ditanya penyidik Kejati Riau, terkait pembangunan RTH tersebut. Sebab, RTH tersebut tidak ada dalam mata anggaran dan tidak disahkan DPRD Riau.

Menurut Razman, Dwi punya argumentasi. "Dalam hal terdapat perbedaan dengan kondisi lapangan. PPK bersama penyedia barang dan jasa dapat melakukan perubahan kontrak, menambah atau mengurangi volume juga jenis pekerjaan. Apa yang dilarang, tugu murah sekali. Hanya Rp425 juta," kata Razman.

Pada kesempatan itu, Razman juga menyinggung instruksi Presiden Joko Widodo tentang tidak bolehnya kebijakan dan diskresi dipidanakan. Selain itu, tindakan administrasi harus dibedakan dengan korupsi dan diberi peluang perbaikan selama 60 hari.

"Kerugian negara juga harus konkrit, tidak boleh mengada-ada. Saya minta Kajati copot Sugeng," tegasnya.

Sementara empat orang tersangka lainnya, yakni satu ASN, Silvia dan tiga konsultan dari CV Panca Mandiri, yakni Rinaldi Mugni, Reymon Yundra dan Arri Arwin, menunjuk Kapitra Ampera sebagai pembelanya.

Seperti diberitakan, Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Riau, Sugeng Riyanta, SH, MH, Rabu (9/11/17) menetapan 18 orang tersangka perkara dugaan korupsi proyek ruang terbuka hijau senilai Rp16 miliar lebih tahun anggaran 2016.

Sugeng Riyanda mengatakan, sebanyak 18 tersangka itu terkait pembangunan 2 proyek ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Pekanbaru.

Pertama bernama Kaca Mayang di Jalan Sudirman, depan Kantor Wali Kota Pekanbaru. Kedua RTH Tugu Integritas berlokasi di Jalan Ahmad Yani Pekanbaru, bekas Kantor Dinas Pekerjaan Umum Riau, di depan Rumah Dinas Wali Kota Pekanbaru.

Pembangunan kedua RTH termasuk Tugu Anti Korupsi, itu dibiayai APBD Provinsi Riau 2016 sebesar Rp16 miliar. Bahkan khusus untuk Tugu Anti Korupsi dianggarkan Rp420 juta.

Tugu Integritas (Tugu Anti Korupsi) diresmikan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Raharjo pada 10 Desember 2016 lalu.

Tugu tersebut sebagai simbol bangkitnya Provinsi Riau melawan korupsi. KPK berharap Riau keluar dari zone merah KPK sebagai salah satu provinsi dengan tingkat korupsi tertinggi di Indonesia.

Namun, harapan tinggal harapan. Pasalnya, pembangunan RTH itu justru diduga dikorupsi ramai-ramai dengan ditetapkannya 18 tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Riau.

Dari 18 tersangka, 13 orang pegawai negeri sipil dan 5 orang swasta. Dari 18 orang tersangka itu, 3 orang di antaranya wanita.

Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka mulai dari Ketua Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP), kontraktor, Pejabat Pembuat Teknik Kegiatan (PPTK), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pengguna Anggaran (PA), Tim Provisional Hand Over (PHO), Kontraktor  Pelaksana dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),
tim pengawas dan konsultan pengawas.

Untuk 18 orang tersangka ini, penyidik Kejati Riau memilah dalam belasan berkas acara pemeriksaan (BAP). BAP pertama berisikan, IS Ketua kelompok kerja unit layanan pengadaan . BAP kedua adalah DI (bukan DIR) dan RM anggota Pokja ULP yang melakukan verifikasi dan pembuktian berkas penawaran kontraktor. BAP ketiga adalah H anggota dan H, Sekretaris Pokja.

Kemudian dari pihak swasta, K Direktur PT Bumi Riau Lestari. Dalam proyek ini, K meminjam bendera perusahaan milik ZJB (wanita).

Selain itu, penyidik juga menjerat RJ selaku konsultan pengawas yang perusahaanya dipinjam RM, dan AA pengawas yang bekerja di lapangan.

Disamping itu, Kejati juga menetapkan Ketua, anggota dan Sekretaris Provisional Hand Over (PHO), A, Ir. S, R dan ET (dua terakhir wanita.

Tak juga ketinggalan, Z selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan HR Kepala Bidang Cipta Karya selaku kuasa pengguna anggaran (KPA). Dan Kepala Dinas Cipta Karya Riau, selaku Pengguna Anggara, Dr Dwi Agus Sumarno juga tak luput dalam pusaran dugaan korupsi proyek Tugu Anti Korupsi ini.

Adapun dugaan penyimpangannya menurut Sugeng Riyanta, ada tiga model. Yakni, model pertama pengaturan tender proyek pada ULP dan rekayasa untuk memenangkan satu kontraktor.

Kemudian kontraktor diduga kongkalikong meminjam 'bendera' (perusahaan orang lain) dan dikerjakan orang lain yang menyebabkan kerugian negara.

Terhadap hal ini para tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Model kedua, ungkapnya, ada pegawai negeri yang memalsukan buku dan daftar surat-surat untuk administrasi. Ini terliat dari rekayasa dokumen.

Terkait ini, selain menjerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan (3), penyidik juga menjerat tersangka dengan Pasal 9 UU Namor 20 Tahun 2001.

Sementara model ketiga beber Sugeng Riyanta, diduga ada kepentingan pemangku kebijakan yang terlibat langsung dan tidak langsung. Ada bukti yang sebagian dikerjakan oleh pihak dinas.

"Untuk model ketiga ini, tersangka kita jerat dengan pasal tambahan yakni Pasal 12 hurif i UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang larangan bagi PNS dan penyelenggaraan negara yang terlibat langsung dan tidak langsung. Dalam perkara ini kita temukan ada bukti yang sebagian dikerjakan oleh pihak dinas," ungkap Sugeng. (Rima)

Terkini