POSISI matahari tepat berada di atas kepala. Panas sekali siang itu. Seorang gadis remaja berambut sebahu tak menyerah, ia tetap lalu lalang di antara deru debu kendaraan, menawarkan jasa membersihkan kaca mobil.
Tanpa malu dan risih ia datangi satu persatu kendaraan. Bagi pengendara yang bersedia kaca mobilnya dibersihhkan, di situlah Devi berhenti dan memainkan kemoceng miliknya di antara kaca dan bodi kendaraan.
Siang itu Devi ada di persimpangan lampu merah JL. Soekarno Hatta, Pekanbaru. Dengan cekatan dan sigap ia sapu permukaan mobil dengan kemoceng untuk menyingkirkan debu. Itu ia lakukan beberapa detik saja, sampai lampu hijau hidup kembali dan kendaraan berlalu…
Suka Duka Devi Si "Pembersih Kaca" Mobil Jalanan, Berharap Tak Bertemu Orang Jahat
POSISI mataharti tepat berada di atas kepala. Panas sekali siang itu. Seorang gadis remaja berambut sebahu tak menyerah, ia tetap lalu lalang di antara deru debu kendaraan, menawarkan jasa membersihkan kaca mobil.
Tanpa malu dan risih ia datangi satu persatu kendaraan. Bagi pengendara yang bersedia kaca mobilnya dibersihhkan, di situlah Devi berhenti dan memainkan kemoceng miliknya di antara kaca dan bodi kendaraan.
Siang itu Devi ada di persimpangan lampu merah JL Soekarno Hatta, Pekanbaru. Dengan cekatan dan sigap ia sapu permukaan mobil dengan kemoceng untuk menyingkirkan debu. Itu ia lakukan beberapa detik saja, sampai lampu hijau hidup kembali dan kendaraan berlalu meninggalkan dirinya.
Remaja 20 tahun ini terpaksa menjalani profesi di jalanan sebagai jasa pembersih kaca mobil. Ia harus bertarung dengan maut, diantara deru debu kendaraan, hujan panas dan terik.
Devi memang tak punya banyak pilihan untuk bekerja. Cukup bila ia bisa menghidupi diri sendiri. Dan nasib membawanya di sini, di jalanan. Sejak tak lagi mengenyam bangku sekolah lantaran kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai, ia memilih hidup di jalanan. Mengamen, menawarkan jasa bersih kaca kendaraan serta pekerjaan lain yang ia anggap halal.
Siang itu usai membersih kaca mobil, Devi duduk di pinggir trotoar sekedar melepas penat, sambil menyereput satu plastik kecil es teh yang diikat karet gelang.
Devi tak lagi menghiraukan teriknya panas, dan perihnya debu yang menusuk mata. Yang penting ia mendapatkan uang untuk beli makanan.
"Iya kak, hari ini panas sekali makanya Devi baru mulai kerja. Biasanya Devi keluar agak pagi. Ini langsung cari uang makan, pas dapat 15 ribu langsung beli nasi bungkus," katanya tertawa kecil, menunjukkan sebungkus nasi di tangannya.
Setiap hari Devi mengantongi antara Rp30.000 sampai Rp50.000 dari pekerjaan yang mengharuskan ia terjun dari pagi hingga malam hari ke jalanan. Uang itu cukuplah untuk dirinya dan membantu orang tuanya sedikit.
"Paling banyak 50 ribu kak, ada juga 30 ribu. Tergantung rezeki saja," ujarnya ketika ditanya penghasilan sehari.
Itu Devi lakoni setiap hari. Dengan hasil yang tak seberapa itu, pulang pergi dari pagi hingga malam hari menuju rumahnya di Jl.Garuda Sakti, ia tempuh hanya berjalan kaki.
"Saya kesini jalan kaki, lumayan jauh. Cuma ya tidak apa-apalah. Namanya cari duit. Nanti Devi pulangnya kadang nebeng sama mobil-mobil orang yang lewat karna sudah malam dan capek," jelasnya lagi.
Suka duka sebagai anak jalanan sudah Devi rasakan sejak ia tamat dari bangku Sekolah Dasar (SD). Ia mulai menjajaki jalanan, menjajal profesi sebagai musisi jalanan atau pengamen di persimpangan lampu merah. Pahit, getir dan senang berbaur jadi satu saat ia berada di jalanan.
Sukanya ujar Devi, ketika orang yang menerima jasanya membayarnya dengan senyum dan ikhlas. Dukanya jika ada yang memandang rendah pada dirinya, dan pekerjaannya.
"Bahkan ada yang memandang rendah pada saya dan menggerutu ketika saya tawarkan jasa. Tapi semua saya terima sebagai resiko pekerjaan. Saya sabar saja sambil berharap ada dermawan baik hati, yang mau mobilnya saya bersihkan," ujar Devi.
Devi adalah anak ke enam dari delapan bersaudara. Banyak anak membuat orang tuanya tak mampu membiayai sekolah ia dan saudara-saudaranya. Kakak-kaknya yang sudah dewasa kini semua merantau. Ada yang di Batam, Papua, dan Yogya. Mereka merantau semua, tutur Devi.
Di usianya yang masih muda, perjuangan Devi untuk bertahan hidup layak dihargai. Jika remaja seusianya masih asik nongkrong di coffe, sibuk tik tok dan main gedget, Devi harus bertarung setiap hari untuk mengumpulkan receh demi receh.
Adakah perasaan malu menjalani pekerjaan ini? Devi lugas menjawab, "Kenapa harus malu? Kan Devi kerja halal dan tidak macam-macam, dan diizinkan orang tua."
Devi tidak pernah menyesali takdirnya sebagai kelompok yang "tetsingkirkan" dari gemerlapnya kehidupan ibu kota Provinsi Riau ini. Selagi tenaganya masih kuat, ia akan terus menapaki jalanan demi bertahan hidup, dan terhindar dari rasa lapar. Satu lagi doa dan harapannya, ia tidak pernah bertemua orang jahat di jalanan, di tempat ia bekerja mencari nafkah.**