iniriau.com, PEKANBARU - Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, SH, MH melaksanakan video conference Ekspose Pengajuan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dengan Dir. Oharda Nanang Ibrahim Soleh, SH., MH.Rabu (19/6/2024). Ekspose tersebut digelar di ruang rapat Kejati Riau.
Selain Kajati Riau, pengajuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dihadiri oleh Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Riau Dr. Silpia Rosalina, SH., MH beserta Koordinator dan Kasi pada Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Riau. Pada kesempatan itu diajukan dua perkara untuk diselesaikan dengan keadilan restoratif.
Pertama kasus yang menjerat tersangka Mahyudin dari Kejari Indragiri Hulu. Dimana tersangka diduga menjadi penadah barang hasil curian berupa motor yang tidak dilengkapi surat nomor polisi.
Kedua kasus penganiayaan dengan tersangka Lidiyansa dari Kejari Indargiri Hilir. Dimana tersangka diancam pidana dalam pasal 351 ayat(1) KUHP.
Setelah penyidikan dinyatakan lengkap dan kemudian difasilitasi oleh Jaksa Fasilitator untuk berdamai, para pihak pada tanggal 05 Juni 2024 yang disaksikan tokoh masyarakat setempat bersepakat melakukan perdamaian tanpa syarat yang dilaksanakan di Kantor Kejari Inhil.
Menurut Plh. Kasi Penerangan Hukum Kejati Riau Iwan Roy Carles, SH., MH, pengajuan 2 (dua) perkara untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan Restoratif Justice disetujui oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI.
"Pertimbangannya telah memenuhi Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor : 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran Jampidum Nomor : 01/E/EJP/02/2022 Tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum," terang Iwan Roy Carles, Kamis (20/6/2024).
Pemberian penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif ini diberikan dengan pertimbangan karena tersangka telah meminta maaf kepada korban dan korban sudah memberikan maaf kepada tersangka. Kemudian tersangka belum pernah dihukum, dan tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Ancaman pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun; Tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela (tanpa syarat) dimana kedua belah pihak sudah saling memaafkan dan tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan korban tidak ingin perkaranya dilanjutkan ke persidangan. Masyarakat merespon positif penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu dan Kepala Kejaksaan Negeri Indragiri Hilir menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif justice. Hal ini sebagai perwujudan kepastian hukum berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.**