23 Tahun Jikalahari, Perda Karhutla, Regulasi yang Tak Bertaring?

Rabu, 26 Februari 2025 | 20:16:00 WIB
Ulang tahun Jikalahari ke-23 Gelar diskusi dan publikasi kajian perda karhutla di 6 provinsi (foto: istimewa)

iniriau.com, PEKANBARU - Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) genap berusia 23 tahun sejak didirikan pada 2002 oleh 30 organisasi masyarakat sipil. Selama lebih dari dua dekade, Jikalahari terus berjuang melawan deforestasi, kebakaran hutan, dan pelanggaran hak masyarakat adat. Namun, meskipun berbagai regulasi telah diterbitkan, kebakaran hutan di enam provinsi, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur masih terjadi dengan intensitas tinggi.

Untuk menandai perjalanannya, Jikalahari mengadakan diskusi bertajuk “Perda Pengendalian Karhutla Antara Ada dan Tiada” yang menghadirkan sejumlah narasumber, termasuk Guru Besar IPB Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo, M.Agr., akademisi hukum Dr. Gusliana HB, S.H., M.Hum., Koordinator Jikalahari Okto Yugo, S.E., serta Wadireskrimsus Polda Riau, AKBP Basa Emden Banjarnahor. Diskusi ini dipandu oleh Manajer Riset dan Kampanye Jikalahari, Nurul Fitria.

Perda Karhutla Aturan yang Mandul?

Dalam kajiannya, Jikalahari menyoroti kelemahan implementasi peraturan daerah dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Meski regulasi sudah ada, pelaksanaannya masih jauh dari harapan.

"Seharusnya perda menjadi alat efektif untuk menekan kebakaran hutan, tetapi faktanya di lapangan, perda ini sering hanya menjadi dokumen tanpa daya," ujar Okto Yugo, Koordinator Jikalahari.

Sebagai contoh, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2019 di Riau sebenarnya memiliki pasal-pasal yang jelas tentang penataan lahan gambut dan kewajiban audit kepatuhan bagi pemegang izin usaha kehutanan. Namun, menurut temuan Jikalahari, audit tersebut tidak pernah dilakukan, apalagi dipublikasikan ke publik.

Hal serupa juga terjadi di provinsi lain. Kebakaran hutan terus berulang tanpa ada sanksi tegas bagi perusahaan yang lalai. Minimnya pengawasan, transparansi, serta lemahnya koordinasi antara instansi memperparah situasi ini.

Kebakaran Hutan Salah Siapa?

Wadireskrimsus Polda Riau, AKBP Basa Emden Banjarnahor, mengungkapkan bahwa kebakaran hutan sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia, baik disengaja maupun tidak.

"Masih banyak yang membuka lahan dengan cara membakar karena dianggap lebih cepat dan murah. Padahal, dampaknya merusak lingkungan dan kesehatan masyarakat," katanya.

Dalam penegakan hukum, kepolisian mengacu pada sejumlah regulasi seperti UU Perkebunan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta KUHP. Sepanjang 2024, Polda Riau telah menangani 20 kasus kebakaran hutan, sementara awal 2025 sudah ada tiga kasus dalam tahap penyelidikan.

Tanggung Jawab Siapa?

Guru Besar IPB, Prof. Bambang Hero Saharjo, mengingatkan bahwa kebakaran hutan di Indonesia bukan fenomena baru. Sejak 1992, kebakaran besar telah terjadi di Kalimantan Timur, menghanguskan 3,6 juta hektare lahan dengan kerugian sekitar USD 9 miliar.

"Kebakaran hutan sudah menjadi perhatian dunia sejak lama. Namun, hingga kini, pola yang sama terus berulang," ujarnya.

Menurutnya, kepala daerah memiliki peran kunci dalam pengendalian Karhutla, tetapi banyak pemerintah daerah berdalih kurangnya anggaran dan lebih mengandalkan bantuan dari pemerintah pusat.

"Kebakaran di lahan gambut hampir selalu akibat ulah manusia. Ini bukan bencana alam, tapi bencana yang diciptakan," tegasnya.

Perjuangan Belum Usai

Jikalahari menegaskan bahwa perjuangan melindungi hutan tidak boleh berhenti. Regulasi harus lebih dari sekadar dokumen. Ia harus menjadi alat nyata untuk melindungi lingkungan dan masyarakat dari bencana ekologis yang terus mengancam.

"Pemerintah harus berani bertindak lebih tegas. Jika tidak, Karhutla akan terus menjadi ancaman tahunan," pungkas Okto Yugo.**

 

Tags

Terkini