iniriau.com, BENGKALIS – Kabupaten Bengkalis dikenal sebagai daerah yang dikaruniai Allah SWT dengan kekayaan alam berlimpah. Perut buminya menyimpan minyak, sementara di permukaannya terbentang perkebunan sawit dan hutan tanaman industri akasia bagaikan permadani hijau. Dengan potensi ini, wajar bila Bengkalis disebut sebagai salah satu kabupaten terkaya di Indonesia. Setiap tahun daerah yang berada di bibir Selat Malaka itu menerima kucuran dana bagi hasil triliunan rupiah. Angka fantastis yang membuat iri kabupaten tetangga, meski besarnya APBD ternyata tidak otomatis membuat ibu kota Bengkalis berkembang pesat.
Bahkan, ada anekdot yang populer di kalangan masyarakat Kota Terubuk, “APBD belum diketok, pasar sepi.” Ungkapan ini menggambarkan betapa perekonomian Bengkalis masih sangat bergantung pada belanja pemerintah daerah.
Ketika APBD belum disahkan, daya beli masyarakat menurun, proyek belum berjalan, pedagang merugi, dan roda ekonomi ikut melambat. “Sepi, Pak. Orang belanja tak banyak. Karena APBD belum ketok palu, jadi proyek belum jalan,” ungkap seorang pedagang ikan di Pasar Terubuk kepada iniriau.com.
Dengan APBD yang tergolong tambun, Pemerintah Kabupaten Bengkalis telah memetakan pembangunan jangka panjang ke dalam empat klaster atau gerbang. Pulau Bengkalis ditetapkan sebagai Gerbang Utama yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat pendidikan.
Bukit Batu dan Siak Kecil dijadikan Gerbang Laksamana dengan rencana sebagai kawasan industri, wisata religi, pelabuhan ekspor-impor, dan pusat pertanian modern. Kecamatan Mandau dan Pinggir ditetapkan sebagai Gerbang Permata dengan arah pengembangan industri, pertambangan, perdagangan, dan ketenagakerjaan.
Sedangkan Pulau Rupat menjadi Gerbang Pesisir yang diproyeksikan sebagai kawasan pariwisata unggulan, kelautan, dan perikanan. Namun, dari keempat gerbang itu, hanya Gerbang Utama dan Gerbang Permata yang menunjukkan perkembangan nyata, sementara Gerbang Laksamana dan Gerbang Pesisir masih stagnan.
Sebagai pusat pemerintahan, Pulau Bengkalis juga mulai bertransformasi menjadi pusat pendidikan. Dua perguruan tinggi negeri dan satu perguruan tinggi swasta berdiri di kota ini. Politeknik Negeri Bengkalis (Polbeng) bahkan menjadi magnet ribuan mahasiswa dari berbagai provinsi di Indonesia. Namun, predikat sebagai pusat pendidikan belum diiringi oleh fasilitas dasar yang memadai. Listrik masih sering padam, air bersih bermasalah, dan transportasi penyeberangan Roll On Roll Off (Roro) yang menjadi urat nadi utama transportasi justru semakin rapuh.
Sumber listrik Bengkalis masih bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Hampir setiap hari terjadi pemadaman, membuat masyarakat dongkol. Hingga kini, solusi permanen belum terlihat. Air bersih pun menjadi persoalan pelik. PDAM Tirta Terubuk mengandalkan waduk tadah hujan sebagai sumber air baku. Setiap musim kemarau, waduk mengering, produksi turun drastis, bahkan sempat berhenti total karena kehabisan air baku. Ribuan pelanggan pun tidak terlayani dan harus mencari sumber air alternatif.
Lebih parah lagi, masalah transportasi penyeberangan Roro Bengkalis–Pakning kian meresahkan. Sejak dua tahun terakhir, tata kelolanya berantakan. Armada berkurang, antrean panjang, pungli marak, hingga oknum aparat menyelonong masuk tanpa tiket.
Kepala Dinas Perhubungan Bengkalis, Muhammad Adi Pranoto, bahkan mengakui adanya praktik culas anak buahnya. “Saya akui memang ada oknum pegawai Dishub yang nakal (pungli). Tapi ada juga oknum Syahbandar, belum lagi aparat yang menerobos antrean dan masuk gratis,” ujarnya saat rapat bersama DPRD.
Akibat ulah segelintir oknum ini, keributan di pelabuhan sudah menjadi pemandangan biasa. Armada Roro pun makin menyusut. Dari empat kapal, kini hanya tersisa dua, bahkan sempat tinggal satu unit.
Bupati Bengkalis, Kasmarni, mengakui kondisi ini sangat mengkhawatirkan. “Kondisi Roro kita kritis. Jika yang satu ini rusak, putus transportasi dari dan ke Bengkalis,” tegasnya.
Pernyataan ini semakin menegaskan bahwa penyeberangan Roro menjadi penopang yang rapuh dalam mendukung visi Bengkalis sebagai kota pendidikan. Sebab, transportasi lancar merupakan syarat mutlak sebuah kota yang ingin tumbuh. Tanpa itu, Bengkalis akan sulit bergerak lebih jauh.
Tokoh muda Bengkalis, Muhammad Fachrurozi atau yang akrab disapa Agam, menilai carut-marut pengelolaan Roro ini sebagai cerminan government failure atau kegagalan pemerintah.
“Roro itu urat nadi utama. Jika terganggu, dampaknya besar bagi semua lini kepentingan daerah. Ini seharusnya jadi perhatian prioritas,” tegasnya.
Menurutnya, tata kelola pelayanan publik yang sehat harus berlandaskan tiga hal, urgensi program yang tepat sasaran, transparansi operasional yang jelas, dan akuntabilitas kebijakan yang tepat guna. Ia juga menekankan, pemerintah daerah harus menempatkan pejabat sesuai kapasitas, keilmuan, dan integritas.
“Pemerintahan yang sehat akan menempatkan pejabat sesuai keilmuan, kecakapan, dan berintegritas,” pungkasnya.
Jika masalah Roro tidak segera dituntaskan, maka visi Bupati Kasmarni menjadikan Bengkalis sebagai kota pendidikan berpotensi kandas. Transportasi yang lancar adalah syarat mutlak sebuah kota, dan tanpa itu Bengkalis akan tetap terjebak pada bayang-bayang kekayaan yang tidak berbanding lurus dengan kemajuan nyata.**