Indonesia Superdarurat Hoaks

Selasa, 00 0000 | 00:00:00 WIB

Indonesia darurat hoaks sudah terdengar gaungnya sejak lama, tetapi tak tercipta sebuah perubahan. Kini, bahkan rasanya kita sudah masuk tahap yang lebih genting lagi, Indonesia superdarurat hoaks.

Mengapa? Alasan pertama karena sekarang penyebar hoaks bukan saja orang-orang yang berniat jahat, tetapi termasuk mereka yang sebenarnya memiliki niat baik. Serius, bahkan tujuan mulia sekali pun bisa menjadikan seseorang korban sekaligus penyebar hoaks.

Seorang selebgram pernah dihujat hanya karena mendoakan masyarakat di suatu daerah yang menjadi korban bencana gunung meletus. Berawal dari foto dan berita yang diterimanya di sebuah grup Whatsapp tempat berkumpul orang-orang yang melek berita dan media.

Didorong simpati ia mengirim foto kondisi gunung yang meletus di sosial media dan mengajak banyak pihak ikut mendoakan masyarakatnya agar diberi ketabahan. Kepeduliannya membuahkan hujatan, sebab ia dianggap menyebarkan hoaks dan meresahkan masyarakat setempat.

Rupanya foto gunung meletus diambil dari kejadian lama di tempat lain. Sang selebgram sejatinya pun korban hoaks, tetapi akhirnya dianggap menyebarkan kebohongan dan memperkeruh situasi.

Terkait hoaks atau berita palsu sepertinya kita sama-sama harus memilah. Kelompok pertama terdiri dari para pembuat dan pelaku penyebar hoaks. Mereka yang secara sadar menyebarkan berita palsu.

Kelompok pertama ini, jelas harus bertanggung jawab secara hukum atas kejahatannya. Kedua, korban penyebar berita hoaks.

Mereka yang termakan atau menjadi korban sekaligus tergerak menyebarkan berita tanpa tahu bahwa yang disampaikan hoaks. Catatan bagi mereka yang berada di kelompok ini harus lebih berhati-hati dalam menjaring informasi.

Lalu, apakah korban hoaks yang menyebarkan juga harus berhadapan dengan hukum? Kalau mereka semua dituntut untuk bertanggung jawab maka sistem hukum kita akan berubah total.

Hakim, polisi, jaksa sekalipun, menjadi mungkin berada dipenjara, jika memberi keputusan salah walaupun akibat tertipu kesaksian palsu. Pun jika membuat keputusan peradilan dengan bukti atau proses yang menjurus pada kesimpulan salah.

Oleh karena itu, hemat saya, sanksi hukum hoaks hanya berlaku jika (korban) yang menyebarkan sadar dan tahu yang disiarkannya merupakan hoaks. Dan tugas hukum adalah membuktikan si penyebar hoaks melakukan penyebaran berita bohong dalam keadaan tahu dan sadar.

Alasan kedua, mengapa Indonesia masuk superdarurat hoaks karena penyebar hoaks zaman sekarang bukan cuma anak alay yang kurang baca atau minus pergaulan melainkan mulai menyentuh pejabat, tokoh, pemimpin, akademisi, dan figur berpengaruh. Beberapa dilakukan karena mereka menjadi korban, sebagian lagi demi kepentingan politik. Tentu perilaku tak bertanggung jawab ini akan berimbas pada kekisruhan yang lebih besar.

Alasan ketiga, media utama yang seharusnya menjadi penyaring berita, terkadang turut menjadi penyebar hoaks. Seharusnya media atau situs berita menjadi acuan utama dengan standarisasi jurnalisme yang terpercaya.

Namun, tidak jarang saat ini, akibat tidak mau ketinggalan berita, justru arus media utama mengutip berita dari media sosial, tanpa melakukan cross check atau menyelidiki lebih dalam. Fenomena hoaks yang merebak membuat masyarakat sulit mengetahui pihak mana yang harus dipercaya, ketika satu berita tersiar.

Saat menulis Resonansi ini, awalnya saya berencana mengangkat kasus viral tentang seorang bayi korban gempa di Palu yang ditemukan dalam keadaan hidup sekalipun sudah dua pekan tidak makan maupun minum, akibat tertimbun. Di gambar terlihat tubuh bayi yang diangkat tampak putih diselubungi lumpur.

Yang menarik, tersiar berita bagaimana masyarakat sekitar juga relawan sering mendengar sayup sayup tangisan bayi. Mengira yang mereka dengar merupakan suara hantu atau makhluk halus maka masyarakat tidak sungguh-sungguh (baca: tidak berani) menelusuri sumber suara.

Terkini