Nadiem: PJJ Tingkatkan Risiko Putus Sekolah

Nadiem: PJJ Tingkatkan Risiko Putus Sekolah
Ilustrasi

Iniriau.com, JAKARTA - Pemerintah memutuskan menghapus aturan pembukaan sekolah tatap muka saat pandemi corona berdasarkan zona risiko.

Sebelumnya, sekolah tatap muka hanya diperbolehkan di zona hijau dan kuning. Kini, pembukaan sekolah tatap muka diserahkan kepada masing-masing pemerintah daerah (Pemda) berkoordinasi dengan kepala sekolah dan orang tua siswa.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mengatakan keputusan tersebut mulai berlaku pada semester genap Januari 2021.

Nadiem menyatakan, alasan mengendurkan syarat sekolah tatap muka lantaran pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang telah berjalan sekitar 8 bulan berdampak negatif pada siswa.

"Kita harus sadari, setelah kita evaluasi PJJ ini bahwa dampak negatif pada anak itu suatu hal yang nyata. Dan jika terus menerus dilaksanakan bisa jadi risiko permanen," ujar Nadiem dalam konferensi pers virtual pada Jumat (20/11).

Nadiem menyebut dampak negatif pertama yakni siswa bisa terancam putus sekolah. Sebab banyak siswa yang terpaksa bekerja atas inisiatif pribadi atau dorongan orang tua lantaran kondisi ekonomi yang terdampak corona.

"Banyak juga orang tua yang tidak bisa lihat peran sekolah jika ini dilakukan daring. Dan ini timbulkan banyak orang tua yang skeptis bahwa PJJ ini adalah hal yang tidak berperan bagi anaknya, jadi banyak anak yang dikeluarkan dari sekolah," ucap Nadiem.

Risiko buruk yang kedua yakni tumbuh kembang anak. Nadiem menyatakan, kesenjangan pencapaian pembelajaran di daerah yang sulit menggelar PJJ dan kota semakin lebar.

"Pertumbuhan anak-anak kita adalah risiko yang besar. Keikutsertaan di PAUD menurun drastis dan ini bisa jadi dampak permanen dan risiko learning lost bahwa ada 1 generasi yang hilang pembelajarannya dan harus mengejar. Mungkin sebagian ketinggalan dan tidak bisa mengejar kembali," jelas Nadiem.

Terakhir, Nadiem menyebut dampak negatif yang paling sering dirasakan selama PJJ yakni siswa mengalami stres.

"Minimnya interaksi dengan guru, teman, lingkungan yang menyebabkan stres di rumah tangga, baik orang tua atau anak meningkat," kata Nadiem

"Ini akan meningkat pada psiko sosial anak. Padahal kita tahu tidak ada pembelajaran tanpa keamanan dan harmoni psikologis anak. Dan peningkatan insiden kekerasan rumah tangga juga meningkat," tutupnya.**

Sumber: Kumparan

Berita Lainnya

Index