Rupiah Hari ini Lemas di Atas Rp 14.500/US$

Rupiah Hari ini Lemas di Atas Rp 14.500/US$

Iniriau.com, JAKARTA - Minggu ini perdagangan hanya berlangsung empat hari saja karena ada libur perayaan Jumat Agung yang jatuh pada Jumat (2/4/2021). Sayang seribu sayang saat perdagangan hanya berlangsung singkat nasib nahas justru menghampiri rupiah.

Nilai tukar rupiah kembali tembus Rp 14.500/US$. Dalam sepekan terakhir rupiah keok di hadapan dolar AS. Rupiah terdepresiasi 0,76% di hadapan greenback. Di saat yang sama indeks dolar juga mengalami apresiasi.

Posisi terakhir rupiah pada penutupan perdagangan spot kemarin (1/4/2021) adalah Rp 14.520/US$. Ini merupakan kali pertama rupiah tembus di level ini di sepanjang tahun 2021.

Berbanding terbalik dengan rupiah, sepekan terakhir indeks dolar justru menguat 0,25% yang menunjukkan dolar Paman Sam memang sedang garang-garangnya sehingga mata uang garuda menjadi korban. Penguatan indeks dolar terjadi seiring dengan kenaikan yield surat utang jangka panjang pemerintah AS.

Kenaikan imbal hasil (yield) nominal surat utang pemerintah AS jangka panjang bertenor 10 tahun membuat yield surat berharga negara (SBN) Indonesia juga ikut terkerek naik.

Per 31 Maret 2021 yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun tercatat menyentuh level 1,75% dan SBN dengan tenor yang sama menyentuh level 6,8%. Akhir tahun lalu keduanya masing-masing masih berada di level 0,92% dan 5,95%.

Artinya di sepanjang kuartal pertama tahun 2021, ada kenaikan imbal hasil sebesar 86,5 basis poin (bps) untuk SBN tenor 10 tahun dan 82,9 bps untuk US Treasury. Naiknya yield mencerminkan koreksi pada harga.

Harga obligasi pemerintah RI yang turun juga diakibatkan oleh turunnya posisi kepemilikan SBN oleh investor asing. Per 29 Maret 2021, kepemilikan asing tercatat sebesar Rp 950.28 triliun atau setara dengan 22,8% dari total kepemilikan SBN.

Kepemilikan asing menurun dibanding akhir Desember 2020 yang sebesar Rp 974 triliun atau setara dengan 25,2% dari total kepemilikan. Artinya ada aliran dana asing yang keluar ke pasar obligasi sepanjang tahun 2021 mencapai Rp 23,6 triliun.

Baik SBN maupun US Treasury keduanya merupakan kelas aset yang sama, pergerakan harga maupun yield-nya memiliki korelasi yang positif, sehingga naiknya yield di AS akan berakibat pada kenaikan yield di Indonesia.

Di AS, prospek perekonomian yang lebih kinclong membuat harga obligasi terkoreksi. Namun di saat yang sama imbal hasil aset minim risiko ini masih lebih tinggi daripada dividen yang diberikan oleh S&P 500 yang hanya 1,5%. Inilah yang juga mengakibatkan pasar saham ikut ambruk.

Di dalam negeri hubungan antara obligasi dan harga saham juga berlawanan arah. Artinya jika terjadi kenaikan yield maka harga saham cenderung menurun seperti yang terjadi belakangan ini.

Kenaikan yield berarti borrowing cost menjadi lebih mahal sehingga bisa menggerus profitabilitas emiten yang menerbitkan obligasi. Di sisi lain yield yang terus menguat juga membuat biaya peluang memegang aset lain seperti saham yang berisiko menjadi meningkat sehingga kurang menarik.

Di pasar saham domestik, asing tercatat masih membukukan beli bersih senilai Rp 4,47 triliun. Namun posisi asing masih tercatat melakukan jual neto aset-aset keuangan RI jika mempertimbangkan posisi kepemilikan SBN.

Adanya capital outflow inilah yang menjadi pemicu pelemahan rupiah. Di sisi lain prospek perekonomian AS yang lebih cerah juga membuat dolar AS bangkit dari keterpurukan.**

Sumber: CNBC

Berita Lainnya

Index