iniriau.com - Penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah tengah menjadi sorotan. Bagaimana tidak, kini dolar AS sudah menembus level Rp 14.940.
Mengutip data Reuters, dolar bergerak di level Rp 14.820 hingga Rp 14.940 pada perdagangan kemarin. Dolar AS kemudian ditutup pada level Rp 14.930. Rupiah melemah sebanyak 0,8% dalam sehari.
Sejumlah masukan pun dilontarkan ke pemerintah, termasuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk meredam impor. Langkah ini diharapkan dapat meredam gejolak pada rupiah.
Lantas bagaimana respons pemerintah? Akankah pemerintah menaikkan BBM? Berikut beritanya lengkapnya:
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus mengalami tekanan. Ini terjadi karena tingginya permintaan dolar AS untuk kebutuhan impor, dan yang paling tinggi dan menyebabkan defisit adalah impor migas.
Menanggapi hal tersebut, mantan Menteri Keuangan di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Chatib Basri menjelaskan saat ini yang menjadi perhatian utama adalah current account deficit (CAD). Menurutnya, salah satu sumber defisit yang besar adalah dari minyak dan gas (migas).
"Untuk menurunkan permintaan bahan bakar minyak (BBM) yang sebagian juga muncul karena penyelundupan, sebaiknya harga BBM dinaikkan," kata Chatib dalam keterangannya, Selasa (4/9/2018).
Dia menjelaskan, dengan kenaikan harga BBM maka akan membawa dampak ke CAD dalam 6 bulan ke depan.
"Tapi untuk investor pasar keuangan, mereka bisa ekspektasi bahwa CAD ke depan akan semakin kecil," ujar Chatib.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pada tahun 2018 tidak akan ada penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai antisipasi nilai tukar rupiah yang melemah.
Dia menegaskan bahwa penyesuaian harga BBM dilakukan pada tahun depan dan sudah tercatat di RAPBN tahun anggaran 2019.
"Di dalam APBN 2019 sudah kita sampaikan policy mengenai subsidi tetap ," kata Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (4/9/2018).
Dalam RAPBN 2019, pemerintah menambah jumlah subsidi untuk BBM jenis solar menjadi Rp 2.000 per liter dari yang sebelumnya sebesar Rp 500 per liter, itu artinya ada kenaikan subsidi sebesar Rp 1.500 per liter.
"Sama dengan volume yang ditetapkan yaitu diesel (solar) dan juga dari sisi jumlah subsidinya per liternya sama seperti 2018," jelas dia.
Di tempat terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan, pemerintah tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam waktu dekat. Hal itu menanggapi wacana terkait upaya menahan pelemahan rupiah dengan menaikkan harga BBM.
"Gini lho, menurut saya, jawabannya gini pemerintah tidak merencanakan kenaikan harga BBM dalam waktu dekat. Udah itu jawabannya," kata Jonan di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Selasa (4/9/2018).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan buka suara merespons wacana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) demi menahan laju pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Selama ini Indonesia masih mengimpor BBM yang harganya dibanderol dalam dolar AS.
Menurut Jonan nilai impor minyak memang meningkat, namun secara volume tidak banyak perubahan. Dia mengatakan, meningkatnya nilai impor karena dipengaruhi lonjakan harga minyak dunia.
"Oh impornya naik terus sebenarnya secara volume tidak naik terus. Kalau secara uang, secara nilai memang harga minyak dunia naik, tapi volume tidak naik banyak. Misalnya, triwulan II 2017 nilai impornya US$ 4,55 miliar total impor, triwulan II tahun 2018 US$ 6,2 miliar," ujar Jonan di Kementerian ESDM, Selasa malam (4/9/2018).
Lantas, jika BBM dinaikkan apakah konsumsi akan turun? Jonan menerangkan, untuk solar misalnya kenaikannya hanya berdampak kecil pada konsumsi. Sebab, tidak semua orang memakai solar.
"Saya melihatnya konsumsinya mungkin berkurang tapi tidak akan banyak. Kan sepeda motor nggak ada pakai solar," ujarnya.
Begitu juga dengan harga Premium, Jonan mengatakan kenaikannya juga sedikit pengaruhnya pada konsumsi atau permintaan BBM.
"Memang ada pertanyaan kalau harga Premium dinaikkan permintaan berkurang, saya kira berkurang tapi nggak akan banyak, karena untuk kebutuhan sehari-hari bukan senang-senang," terangnya.
"Terus Anda bilang untuk kurangi tekanan cadev? Loh ini cadev, yang komentar liat yang fair. Selalu orang membandingkan neraca perdagangan migas ekspor berapa impor berapa, ini sama-sama naik. Tapi bukan itu yang harus dibandingkan penerimaan negara migas berapa, ditambah ekspor, dikurangi impor cuma sedikit selisihnya. Penerimaan negara dalam rupiah mana, penerimaan negara dalam migas dolar," terang Jonan.
Jonan menambahkan jika kenaikan harga BBM untuk mengurangi penyelundupan maka mesti ditinjau kembali, sebab pemerintah telah membentuk satuan tugas untuk memberantas penyelundup minyak.
"Menurut saya tidak ada, kalau pun ada toh kecil sekali. Pak Menko Polhukam membentuk satgas memberantas ini," kata dia.
"Kalau Anda bilang besar, berarti yang atur pasok solar dalam negeri banyak yang nggak betul dong. Silakan tanya Pertamina, apa betul mekanisme seperti itu, makanya Pertamina dan Telkom melalui BUMN setiap nozzle digitalisasi," tutur Jonan.(IRC/detik)