Oleh: Azmi bin Rozali
DISKURSUS mengenai pembangunan ekonomi di Indonesia tak pernah lepas dari pertanyaan fundamental: pembangunan untuk siapa?
Apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai selama ini benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat banyak, atau justru menambah jurang ketimpangan antara kelompok kaya dan miskin?
Dalam konteks inilah, konsep ekonomi kerakyatan yang berkeadilan menjadi relevan sebagai paradigma alternatif sekaligus koreksi atas model pembangunan yang terlalu berorientasi pasar bebas dan kapital.
Landasan Konstitusional dan Filosofis
Ekonomi kerakyatan sejatinya bukan konsep baru. Ia memiliki akar historis dan konstitusional yang kuat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Ayat (1) menyatakan bahwa "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan", sedangkan ayat (2) dan (3) menegaskan peran negara dalam menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara dan hajat hidup orang banyak.
Ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi Indonesia didesain bukan untuk liberalisme murni, melainkan untuk menjamin pemerataan, keadilan sosial, dan kedaulatan ekonomi rakyat.
Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan menekankan partisipasi aktif rakyat dalam kegiatan ekonomi melalui koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta pengelolaan sumber daya alam secara kolektif.
Esensi dari ekonomi ini adalah keberpihakan pada rakyat, bukan sekadar sebagai objek pembangunan, melainkan sebagai subjek utama yang memiliki kontrol atas proses produksi dan distribusi.
Ekonomi Kerakyatan dalam Realitas Pembangunan
Sayangnya, dalam implementasinya, ekonomi kerakyatan sering kali terpinggirkan oleh pendekatan pembangunan yang lebih pro-kapital. Deregulasi dan liberalisasi ekonomi yang marak pasca-reformasi, misalnya, telah membuka ruang yang luas bagi masuknya modal asing dan dominasi korporasi besar dalam sektor-sektor strategis seperti pertambangan, energi, dan agraria.
Di sisi lain, UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional—menyerap lebih dari 97% tenaga kerja dan berkontribusi sekitar 60% terhadap PDB—masih menghadapi berbagai kendala struktural.
Akses terhadap pembiayaan, teknologi, pasar, dan perlindungan hukum masih sangat terbatas. Ditambah lagi, kebijakan fiskal dan insentif ekonomi masih lebih berpihak pada korporasi besar ketimbang pelaku usaha kecil.
Mewujudkan Keadilan Ekonomi: Strategi dan Tantangan
Membangun ekonomi kerakyatan yang berkeadilan membutuhkan transformasi kebijakan yang menyeluruh dan konsisten. Beberapa langkah strategis yang perlu ditempuh antara lain:
Pertama - Reformasi sistem perpajakan dan fiskal yang progresif, di mana kelompok kaya dan korporasi besar membayar pajak lebih besar demi mendanai layanan publik dan pembangunan daerah tertinggal.
Kedua - Revitalisasi koperasi dan BUMDes sebagai alat demokratisasi ekonomi. Negara harus memberikan dukungan kelembagaan, modal, dan pendampingan agar koperasi tidak lagi dipandang sekadar sebagai "badan usaha kelas dua".
Ketiga - Pemberdayaan UMKM secara terintegrasi, melalui kemudahan akses permodalan (termasuk skema pembiayaan syariah dan non-bank), pelatihan manajerial dan digitalisasi, serta perlindungan dari praktik perdagangan yang eksploitatif.
Keempat - Penguatan ekonomi lokal dan desa, sebagai basis dari kemandirian ekonomi nasional. Hal ini sejalan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah pascareformasi, yang memberi peluang besar bagi daerah untuk mengembangkan potensi ekonominya secara inklusif.
Kelima - Penegakan hukum atas praktik monopoli dan korupsi ekonomi, yang selama ini menjadi penghambat utama ekonomi berkeadilan. Tanpa tata kelola yang transparan dan akuntabel, ekonomi kerakyatan akan sulit berkembang.
Ekonomi kerakyatan yang berkeadilan bukan sekadar pilihan moral, melainkan kebutuhan historis dan konstitusional bagi bangsa Indonesia.
Di tengah ancaman ketimpangan, eksploitasi sumber daya, dan marginalisasi rakyat kecil, sudah saatnya negara mengambil sikap tegas untuk berpihak pada kekuatan ekonomi rakyat.
Ini bukan tugas mudah. Tapi dengan komitmen politik yang kuat, kebijakan yang konsisten, dan partisipasi aktif masyarakat sipil, Indonesia bisa membangun fondasi ekonomi yang bukan hanya tumbuh, tetapi juga adil dan berkelanjutan. ***
Penulis adalah coach dan trainer nasional, pernah tiga periode menjabat anggota DPRD kabupaten Bengkalis 2004-2019.