Kasus KDRT di Pekanbaru Jalan di Tempat, Korban Cari Keadilan

Kamis, 18 September 2025 | 07:01:00 WIB
Kuasa hukum F korban KDRT di Pekanbaru, Robi Mardiko SH, (foto: istimewa)

iniriau.com, Pekanbaru – Hampir setahun lamanya kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilaporkan seorang ibu rumah tangga berinisial F ke Polresta Pekanbaru tak menunjukkan perkembangan berarti. Kondisi ini membuat korban merasa kehilangan kepastian hukum dan perlindungan.

F menyebut, dirinya telah resmi membuat laporan sejak 5 September 2024 setelah mengalami kekerasan fisik dari suaminya, M. Bukti visum dan keterangan saksi sudah diserahkan, namun hingga kini proses hukum jalan di tempat.

“Setiap hari saya menunggu kejelasan, tapi yang saya terima hanya diam. Saya sudah berusaha kuat, tapi rasa kecewa ini semakin besar karena hukum tidak berjalan,” ungkap F, Rabu (17/9/2025).

Kuasa hukum korban, Robi Mardiko SH, menyayangkan sikap penyidik yang dinilai kurang sigap menangani perkara ini. Ia menilai keterlambatan proses hukum justru menambah penderitaan korban.

“Ini bukan masalah ringan. KDRT adalah tindak pidana yang harus segera ditindaklanjuti. Korban tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian,” ujar Robi.

Robi juga mengungkapkan adanya pernyataan dari terlapor M yang terkesan meremehkan proses hukum. “Terlapor bahkan pernah mengatakan, kalau kasus ini benar-benar diproses, dia rela potong telinganya. Itu bentuk pelecehan terhadap institusi hukum,” tegasnya.

Berdasarkan catatan hukum, Polresta Pekanbaru telah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada 17 Februari 2025. Namun, setelah itu, tidak ada kabar lanjutan hingga korban kembali mendatangi penyidik pada 16 September 2025. Saat itulah korban menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).

Menurut Robi, pihak kepolisian berdalih adanya kelalaian internal serta kesulitan dalam memanggil terlapor. “Waktu kami bertemu penyidik, mereka mengaku lalai dan menyebut pemanggilan terlapor tidak mudah. Tapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk membiarkan korban tanpa perlindungan,” ujarnya.

Kasus ini menjadi sorotan karena menyangkut implementasi UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan Perkap No. 14 Tahun 2012, yang menekankan kewajiban aparat untuk bertindak cepat, tepat, dan profesional.

“Negara wajib hadir untuk korban. Jangan sampai KDRT dianggap masalah rumah tangga biasa. Ini tindak pidana serius yang harus jadi prioritas,” tutup Robi.**

Tags

Terkini