Hari Gini di Riau Masih Ada Ilog, Tambang Emas Ilegal, Pembakaran Lahan, dan Alih Fungsi Hutan?

Rabu, 10 Desember 2025 | 16:47:00 WIB
Zulkarnain Kadir Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi (foto:net)

Oleh Zulkarnain Kadir Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi 
 

JAWABANNYA sederhana: karena negara tidur, dan rakyat dibiarkan miskin.

Ini bukan soal teknis, ini soal politik kehendak. Izin boleh ribuan halaman, regulasi boleh setebal kitab, tapi kalau negara tak hadir, hukum hanya jadi dekorasi birokrasi. Beginilah ironinya:

1. Karena negara lebih sibuk mengurus kekuasaan daripada mengurus hutan. Selama negara sibuk meladeni drama politik, jatah jabatan, dan bagi-bagi kue anggaran, hutan pun hilang tanpa penjaga. 

Di Riau, ratusan ribu hektar hutan hilang bukan oleh rakyat kecil, tapi oleh korporasi besar yang sudah kenyang izin dan punya akses langsung ke elite. Negara tahu, tapi memilih tak tahu. Lembaga ada, tapi taringnya dicabut.

2. Karena kemiskinan dibiarkan jadi “pupuk kejahatan ekologis”. Rakyat di pinggir hutan tidak diberi pilihan hidup. Tak ada akses modal, tanah sempit, harga getah jatuh, sawit rakyat dibayar murah, maka hutan jadi “ATM darurat”.

Ketika negara gagal menghadirkan keadilan ekonomi, alam jadi korban pertama.

3. Karena aparat yang harusnya menjaga, justru ikut bermain. Ini fakta pahit. Ilegal logging butuh alat berat, solar, jalur keluar, dan truk. Itu tak mungkin berjalan tanpa “penjaga gerbang” yang menutup mata atau membuka tangan.

Tambang emas ilegal pun demikian: Mesin dompeng, mercuri, excavator… Tidak mungkin masuk tanpa jaringan pengamanan.

4. Karena korporasi mengubah hutan dengan cara rapi tapi tetap merusak. Yang membakar untuk ekspansi sawit sering bukan masyarakat, tapi aktor besar yang ingin tanah murah dengan dalih “lahan terbakar”. Praktik lama. Semua orang tahu. Negara juga tahu. Tapi pembuktiannya “dipersulit”, kecuali kalau sudah masuk berita nasional.

5. Karena hutan dianggap komoditas, bukan ekosistem. Selama hutan dilihat sebagai “lahan kosong yang belum menghasilkan”, maka konversi jadi sawit, tambang, atau akasia akan terus dianggap wajar. Di sini logika ekonomi mengalahkan logika keberlanjutan.

6. Karena penegakan hukum masih berhenti di operator, bukan pemodal. Penebang kayu miskin ditangkap, pemodalnya ngopi di hotel. 

Operator excavator ditahan, pemilik alatnya aman. Pembakar hutan disalahkan “cuaca”, bukan perusahaan yang menguasai konsesi. Selama hukum hanya menjerat yang kecil, yang besar akan terus bermain seperti biasa.

7. Karena negara absen, masyarakat frustrasi. Ketika rakyat melihat hutan lindung berubah jadi kebun sawit tanpa izin tapi bertahun-tahun tak ditindak, apa yang mereka pelajari?

Bahwa hukum itu selektif. Bahwa negara itu tidak serius. Bahwa “yang salah” adalah tidak punya akses.

Selama negara membiarkan kemiskinan berjalan, penegakan hukum ompong, dan korporasi diberi ruang tak terbatas, maka, ilegal logging akan terus hidup, tambang emas ilegal akan terus subur, kebakaran hutan akan terus berulang, hutan lindung akan terus hilang.

Alam rusak bukan karena rakyat jahat. Alam rusak karena negara tidak hadir. Dan rakyat miskin hanya dipaksa bertahan hidup... Kenapa negara tidur, menjaga hutan, lahan, tambang, karhutla. Karena negara tidak buta, tapi memilih menutup mata.

Negara bukan tidak tahu hutan dibabat, tambang ilegal merajalela, sawit masuk hutan lindung, atau sungai berubah jadi lumpur. Negara tahu lebih dulu dari siapa pun. Tapi tetap diam.

Kenapa?

1. Karena yang mengatur kebijakan sering terikat kepentingan. Ada jaringan yang terlalu besar untuk disentuh. Perusahaan besar, elite lokal, pengusaha politik—mereka punya akses yang tidak dimiliki rakyat biasa.

Selama kepentingan ekonomi-politik lebih penting daripada lingkungan dan rakyat, negara akan tetap pura-pura tidur.

2. Karena pejabat lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan hutan. Menindak tegas perusahaan raksasa itu berisiko: bisa dimutasi, bisa ditekan, atau kehilangan sponsor politik. Maka yang dipilih adalah yang aman: tidur, tidak ribut, jabatan selamat. Hutan? Nanti dulu.

3. Karena aturan hanya kuat di atas kertas. Indonesia punya aturan lingkungan paling lengkap se-Asia Tenggara. Tapi tanpa keberanian, aturan hanya jadi kitab suci yang tak dibaca.

Selama penegakan hukum tidak independen, negara akan tampak seperti tidak bangun padahal dia tahu semuanya.

4. Karena pengawasan lemah, tapi “pembiaran” kuat. Di banyak daerah, kasus besar selalu dimulai dari satu kata: pembiaran. Hutan dirambah, dibiarkan. Tambang ilegal muncul dibiarkan. Api kecil di lahan dibiarkan. Lama-lama rusak total. Negara tidak tidur. Negara membiarkan.

5. Karena fokus negara lebih ke pembangunan fisik, bukan pembangunan sistem Lebih mudah meresmikan jembatan dan gedung baru daripada membenahi tata kelola hutan. Hasilnya cepat difoto, cepat dipuji. Sementara penyelamatan lingkungan? Lambat, mahal, tidak populer.

6. Karena korupsi membuat negara lumpuh. Ketika sebagian pengawas, pejabat, aparat, dan oknum tertentu bisa “dibeli”, negara otomatis kehilangan kekuatan. Korupsi membuat negara bukan tidur, tapi mati rasa.

7. Karena rakyat miskin tidak punya suara. Rakyat yang miskin, tak punya akses hukum, dan tidak punya saluran politik—tidak dianggap sebagai tekanan.

Negara baru bangun kalau ada demo besar, viral nasional, investor terganggu, atau dunia internasional mulai menekan. Selain itu? Negara diam saja.

Kesimpulannya, negara tidur bukan karena mengantuk, tapi karena nyaman. Selama tidak ada tekanan kuat dari rakyat, dan selama kepentingan elite dan korporasi berjalan mulus, negara tidak merasa perlu bangun. Dan rakyat miskin akan terus menjadi korban pertama dari tidur panjang itu.**

 

 

Tags

Terkini