Enaknya Jadi Wali Kota Pekanbaru

Rabu, 31 Desember 2025 | 15:48:13 WIB

Oleh Zulkarnain Kadir Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi

MENJADI Wali Kota Pekanbaru memang sebuah kemewahan struktural. Wilayah kecil, akses mudah, infrastruktur padat, APBD Rp3,2 triliun. Dengan motor RX King sekalipun, satu hari cukup untuk memutar seluruh kota.. Bandingkan dengan kabupaten di Riau.

Kampar memiliki wilayah sekitar 18 kali luas Pekanbaru. Jika Pekanbaru bisa selesai sehari, Kampar butuh hampir 18 hari lebih untuk sekadar berkeliling wilayahnya. Namun APBD Kampar hanya sekitar Rp2,6 triliun.

Siak luasnya sekitar 13 kali Pekanbaru, dengan APBD sekitar Rp2,3 triliun. Tantangan geografis lebih berat, desa berjauhan, kebutuhan infrastruktur besar, tetapi fiskalnya lebih kecil, belum membayar utang yg di tinggal pendahulu nya..

Lebih ekstrem lagi Indragiri Hilir. Wilayahnya setara 26 kali Pekanbaru, didominasi perairan, rawa, dan daerah terpencil. Biaya transportasi mahal, pelayanan publik sulit. APBD-nya hanya sekitar Rp2,3 triliun.

Pertanyaannya sederhana tapi mendasar:
di mana keadilan fiskal itu berada?
Daerah kecil, padat, dan mudah dijangkau memperoleh anggaran besar. Sebaliknya, daerah luas, penghasil sumber daya alam migas, sawit, kelapa, perkebunan justru harus berhemat untuk membiayai wilayah yang berjauhan dan mahal secara logistik.

Jika indikator keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari wajah kota taman indah, jalan protokol mulus, dan gedung megah maka kota pekanbaru  memang akan selalu tampak unggul. Namun jika keadilan dilihat dari beban wilayah, jumlah desa, tantangan geografis, dan biaya pelayanan rakyat, maka kabupaten-kabupaten di Riau sedang menanggung ketimpangan serius.
Ini bukan soal kecemburuan antara kota dan kabupaten.

Ini soal desain keuangan negara yang masih bias perkotaan dan belum berpihak pada daerah penghasil. Selama sistem ini dipertahankan, Kabupaten kaya sumber daya akan tetap miskin APBD. Pembangunan akan terus timpang. Kepala daerah di kabupaten lebih sibuk bertahan daripada membangun. Dan rakyat di wilayah luas hanya akan menjadi penonton dari kekayaan yang diambil dari tanah dan laut mereka sendiri. Keadilan fiskal bukan slogan. Ia harus terasa sampai ke desa paling ujung.**

Tags

Terkini