Kontras Sebut Isu LGBT dan Komunisme Jadi Topik yang Dibatasi Pemerintah

Kontras Sebut Isu LGBT dan Komunisme Jadi Topik yang Dibatasi Pemerintah
Peneliti KontraS Rivanlee (tengah

Iniriau.com, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan adanya pola pembatasan kebebasan berkumpul yang ada di Indonesia. Perkumpulan yang membahas isu LGBT dan isu Komunisme menjadi topik yang seringkali dibatasi oleh pemerintah.

KontraS melakukan penelitian tentang temuan ini sejak tahun 2013 sampai tahun 2015 di wilayah Jawa Barat, Yogyakarta, dan Papua. Kemudian KontraS mendapat sekitar 1056 peristiwa yang terkait dengan kebebabsan berkumpul secara damai.

"Nah selama tiga tahun dari 2015 sampe 2018 itu kita menemukan ada 1056 peristiwa pembatasan kebebebasan berkumpul yang dikumpulkan KontraS melalui pemantauan media melalui turun lapangan ke beberapa daerah dan juga informasi dari jaringan," kata Peneliti KontraS Rivanlee, di kantor KontraS, Jalan Karamat II, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (6/12/2019).

Dalam penelitiannya, KontraS mengungkapkan isu LGBT dan Komunisme merupakan isu yang paling sering dibatasi. Kedua isu ini seringkali direpresi oleh pihak aparat pemerintah.

"Isu komunisne dan LGBT ini menjadi dua isu yang paling krusial dan hampir selalu ketika sebuah kelompok atau komunitas melangsungkan diskusi atau berkumpul yang bahas soal komunisme dan LBGT itu hampir selalu mendapatkan represifitas dari aparat berupa pembubaran, intimidasi dan sebagainya," kata Rivan.

Rivan juga menyatakan adanya peningkatan pembatasan kebebasan berkumpul di area kampus. Dia mencontohkan saat pihak universitas membatasi mahasiswa untuk turun berdemonstrasi di bulan September 2019 lalu.

"Dampak paling kuatnya bisa kita lihat di tahun 2019 ketika ada pelarangan dari rektor untuk menurunkan mahasiswanya kejalanan. Terutama pada waktu bulan september lalu," ucap Rivan.

Sementara, Koordinator KontraS Yati Andriyani juga mengungkapkan adanya keterlibatan aparat negara dalam pola pembatasan kebebasan berkumpul. Keterlibatan itu terjadi secara langsung ataupun secara tidak langsung.

"Keterlibatan (aparat) ini dalam bentuk langsung dan bisa juga dalam tidak langsung atau dengan kata lain polanya adalah pembiaran. Yang mana misalkan kelompok-kelompok ormas itu mengambil peran untuk memeprsekusi menghentikan dan melalukam penyerangan (kegitan perkumpulam tertentu) dan itu dibiarkan oleh aparat," kata Koordinator KontraS Yati kepada wartawan.

KontraS menemukan korban sering menjadi sasaran kriminalisasi setelah kegiatan pembatasan perkumpulan itu. Bahkan juga ditemukan cara-cara militeristik dalam menanggapi masyarakat yang melakukan perkumpulan.

"Yang kita temukan juga dalam ini adalah pendekatan cara-cara militeristik dalam menanggapi hak-hak kebebasan berkumpul," ujar Yati. (Detik)

Berita Lainnya

Index