Iniriau.com - Ahli memprediksi akan ada gelombang kedua Virus Corona, seperti apa gelombang kedua Virus Corona yang disebut akan menyerang penduduk yang belum terpapar
Sejumlah ahli mengatakan Indonesia harus bersiap dengan kedatangan gelombang kedua Virus Corona, sebenarnya seperti apa gelombang kedua Virus Corona ini?
Salah satu peneliti yang mengungkap tentang gelombang kedua Virus Corona adalah Epidemiolog Indonesia kandidat doktor dari Griffith University Australia, Dicky Budiman.
Sebelumnya, sejumlah negara Asia juga telah mewaspadai datangnya gelombang kedua Virus Corona ini.
Menurut Dicky, pandemi covid-19 berpotensi memiliki beberapa gelombang serangan wabah, termasuk di Indonesia.
Lantas, apa itu gelombang kedua Virus Corona?
Dicky mengatakan, gelombang kedua Virus Corona adalah bila suatu wilayah telah mencapai puncak terkena Virus Corona, kemudian terjadi penurunan, setelah fase penurunan jumlah kasus tersebut terjadi lonjakan kasus lagi.
Adapun puncak kasus, kata Dicky, biasanya dihitung dengan attack rate di angka 3-10 persen penduduk merujuk data di Wuhan.
"Gelombang kedua biasanya menyerang hingga 90 persen penduduk yang belum terpapar tadi," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Selasa (14/4/2020).
Dicky mengungkapkan, gelombang kedua mempunyai masa jeda yang relatif jauh dengan puncak gelombang pertama, bisa memakan waktu sebulan atau lebih.
Seperti halnya di China, gelombang kedua terjadi karena adanya orang dari luar wilayah atau negara yang membawa virus dan menularkan kembali ke populasi yang lainnya.
"Dalam kasus China diduga pembawanya adalah penduduk China yang kembali ke negaranya," ujar Dicky.
Sedangkan untuk di Indonesia, ia menyarankan untuk fokus pada kondisi saat ini dengan intensifikasi dan ekstensifikasi test, pelacakan kasus kontak, perawatan dan isolasi.
Dalam proyeksinya, puncak kurva di Indonesia akan terjadi di awal Mei, dengan asumsi intervensi yang masih sama dengan saat ini.
"Awal atau akhir setiap gelombang tak bisa diprediksi tepat namun dapat diperkirakan, walau kadang sedikit tricky.
Misalnya DKI melakukan PSBB ketat selama sebulan, dan terjadi penurunan angka kasus baru, dan memutuskan untk membuka atau meniadakan PSBB, pada kondisi tersebut bisa saja disebut gelombang pertama," kata Dicky.
Menurut Dicky, selama solusi belum ada yaitu obat dan vaksin atau herd imunity terjadi, maka setiap wilayah akan berpotensi mengalami gelombang kedua atau ketiga.
Hal ini, imbuh Dicky, sama halnya seperti perjalanan panjang manusia saat pandemi flu pada 1918-1920.
Dicky mengungkapkan, pandemi covid-19 ini harus dipahami secara utuh.
"Saya melihat pemerintah pusat atau daerah belum memahami ini. Terlihat dari pendekatan strategi masih belum menyentuh strategi utama pandemi yaitu tes trace treat dan isolate.
Plus upaya pencegahan seperti pembatasan sosial dan fisik yang di dalamnya masuk PSBB, cuci tangan dan bermasker," papar Dicky.
Ketika disinggung apakah jumlah kasus di gelombang kedua akan lebih tinggi dari gelombang pertama, ia tak bisa menjawabnya.
Hal itu lantaran selama pemerintah belum mengetahui berapa sebetulnya jumlah penduduk yang telah terinfeksi covid-19.
Adapun solusinya dapat dengan cara meningkatkan tes secara masal dan agresif sehingga bisa diperkirakan jumlah yang positif.
"Namun akan lebih tepat dan ideal bila melakukan juga survei serologi agar analisa yang didapat relatif lebih bisa dipercaya untuk menggambarkan berapa jumlah penduduk yang masih rawan," kata Dicky.
Menurutnya, semakin besar jumlah penduduk yang belum terinfeksi maka logikanya potensi penduduk yang akan terinfeksi dalam gelombang berikutnya akan semakin besar.
Di samping upaya-upaya yang sedang ditegakkan, Asia juga sedang menghadapi gelombang kedua infeksi dari orang-orang yang kembali dari luar negeri.
Singapura telah melarang semua pengunjung jangka pendek datang, setelah kasus impor mencapai 445, termasuk dua kematian pertamanya pada Sabtu.
Di Hong Kong ketika masa-masa buruk tampaknya sudah terlewati, justru terjadi peningkatan kasus hampir dua kali lipat dalam sepekan terakhir, karena banyak orang yang kembali ke sana.
Kasus di Malaysia mencapai 1.306, dengan lebih dari separuhnya berhubungan dengan tabligh akbar bulan lalu.
Di Sri Lanka, di mana 82 kasus dilaporkan, para penjaga penjara menembaki para tahanan di utara karena coba melarikan diri.
Para tahanan itu kesal karena adanya larangan kunjungan keluarga untuk mencegah penyebaran virus.
Pihak berwenang juga membatasi penjualan dua jenis obat malaria, setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan obat-obat itu mungkin efektif untuk mencegah infeksi covid-19.
Padahal, para ilmuwan telah mengatakan harus ada banyak uji coba dulu untuk menentukan apakah klorokuin benar-benar aman.
Sementara itu Papua Nugini yang memiliki satu kasus dikonfirmasi, menyatakan keadaan darurat 20 hari dan menghentikan penerbangan domestik dan transportasi umum selama dua minggu.
Guam, yang memiliki 15 kasus, mengonfirmasi seorang wanita 68 tahun meninggal karena covid-19. Ini adalah kematian pertama di Asia Pasifik.**
Sumber: Kompas
