Iniriau.com - Pemerintah Iran mengeluarkan surat penangkapan terhadap Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Mereka juga meminta International Criminal Police Organization (Interpol) mengeluarkan red notice penangkapan Trump dan sejumlah pejabat AS lainnya.
Permintaan itu terkait kasus terbunuhnya jenderal pasukan Quds Iran, Qassem Soleimani, lewat serangan udara pada Jumat (3/1) lalu. Trump bersama lebih dari 30 orang lainnya dituduh bersama-sama terlibat atas serangan terhadap Soleimani.
"Mereka mendapat dakwaan pembunuhan dan terorisme," ucap salah satu jaksa Teheran, Ali Aqasimehr, dikutip dari Al-Jazeera, Senin (29/6).
Pertanyaannya, apakah sistem hukum internasional memungkinkan kepala negara atau pemerintahan ditangkap atas permintaan negara lain?
Pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, menilai cara intervensi ini sepertinya cukup mustahil. Sebab, permintaan itu akan terkendala masalah kedaulatan negara.
"Tentu ini tidak mudah, ya, bahkan sepertinya tidak mungkin. Soalnya akan terbentur dengan masalah kedaulatan di AS dan imunitas Trump sebagai Presiden AS," kata Hikmahanto.
"Belum lagi, secara kekuatan, AS lebih kuat dari Iran, baik secara ekonomi dan militer," sambungnya.
Serupa dengan Hikmahanto, pengajar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Aristyo Darmawan, menegaskan kedaulatan negara adalah hal yang mutlak. Bagaimanapun, suatu negara tidak bisa meminta kepala negara ditangkap untuk diadili di hukum domestik suatu negara.
"Mekanisme yang mungkin diambil mungkin bisa ke ICJ (International Court of Justice/Mahkamah Internasional), itu pun kalau Iran bisa membuktikan ada pelanggaran hukum internasional seperti intervensi (contoh, kasus AS vs Nikaragua). Itu pun negaranya, bukan individu kepala negaranya," kata Aristyo.
Menurut Aristyo, kasus individu di negara lain bisa dibawa ke Mahkamah Internasional jika terkait kasus kejahatan tertentu.
"Terbatas pada kejahatan, crimes of genocide (genosida), crimes against humanity (kejahatan kemanusiaan), war crimes (kejahatan perang), dan the crime of aggression (agresi)," tuturnya.
Hingga saat ini, kantor pusat Interpol yang bermarkas di Lyon, Prancis, belum memberikan tanggapan terkait permintaan Iran.
Soleimani tewas oleh serangan drone militer AS dalam perjalanan menuju Bandara Baghdad. Pesawat yang ia tumpangi dihantam rudal AS.
Serangan yang ditargetkan ke konvoi rombongan unit militer Syiah itu juga menewaskan tujuh orang lainnya, termasuk pemimpin kelompok milisi Syiah yang disokong Iran, Abu Mahdi al-Muhandis.
Markas Departemen Pertahanan AS alias Pentagon memastikan serangan ke Iran atas instruksi Trump. Soleimani dibunuh lantaran ia dituduh bertanggung jawab atas kematian pasukan dan militer AS di Irak.
"Jenderal Soleimani secara aktif mengembangkan rencana penyerangan terhadap diplomat AS di Irak dan wilayah sekitarnya, Jenderal Soleimani dan Pasukan Quds bertanggung jawab atas kematian warga AS dan koalisinya, serta melukai ribuan lainnya," ucap keterangan Pentagon seperti dikutip dari AFP, Jumat (3/1).**
Sumber: Kumparan