iniriau.com,PEKANBARU-Kasus dugaan korupsi ruang pertemuan Hotel Kuansing tahun 2015 kembali disidangkan Jumat (2/7) di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Bupati Kuansing Andi Putra dan eks Bupati Sukarmis bertindak sebagai saksi. Namun ulah keduanya yang seakan kompak menjawab "lupa" dan "tidak tahu" membuat hakim emosi.
Bapak dan anak ini menjadi saksi untuk terdakwa Fahruddin, eks Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (CKTR), sekaligus Pengguna Anggaran (PA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kegiatan Pembangunan Ruang Pertemuan Hotel Kuansing. Sementara Alfion Hendra merupakan Kepala Bidang (Kabid) Tata Bangunan dan Perumahan di Dinas CKTR 2015 selaku Pejabat Pelaksanaan Teknis Kegiatan (PPTK).
Sukarmis yang saat proyek pembangunan Hotel Kuansing berjalan menjadi bupati, banyak menjawab "tidak tahu" saat dikonfrontir oleh hakim. "Saya tidak tahu ada pembangunan ruang pertemuan tahun 2015 itu. Sebab proyek saya serahkan pada sekda dan Kadis CKTR serta bappeda," ujar Sukarmis di hadapan majelis hakim yang dipimpin Iwan Irawan.
Pengakuan Sukarmis yang banyak mengaku tidak tahu membuat hakim emosi karena hal itu tidak biasa dalam sebuah pemerintahan.
"Masa semuanya tidak tahu. Anda yang menunjuk Kadis CKTR Fahruddin sebagai pengguna anggaran dan semuanya anda yang tanda tangan," tanya hakim kesal. Mendengar itu Sukarmis akhirnya mengakuinya.
Proyek 3 pilar yang terdiri dari pembangunan pasar modern, Universitas Kuansing dan Hotel Kuansing menurut Sukarmis ia serahkan sepenuhnya pada Sekda, OPD dan Bappeda.
"Itulah masalahnya, proyek ini kan atas rekom dari Ditjen Kementerian Dalam Negeri, dan dalam 3 pilar harus menggunakan BUMD. Kenyataannya tidak," tukuk hakim.
Majelis hakim lalu bertanya terkait tupoksi Sukarmis sebagai Bupati Kuansing. Bukannya menjawab, Sukarmis kembali menuding pekerjaan proyek tersebut sepenuhnya diberikan kepada Sekda, OPD dan Bappeda Kuansing.
Majelis hakim menyinggung kesaksian mantan Wakil Bupati Kuansing, Zulkifli bahwa proyek 3 pilar tidak ada manfaatnya untuk masyarakat Kuansing dan tidak layak dilanjutkan karena tidak menjalankan rekomendasi Ditjen Kementerian Dalam Negeri.
Mendengar itu, Sukarmis emosi, "Wakil Bupati saja hanya masuk kantor 1 tahun, bagaimana dia mau tau," ucap Sukarmis dengan nada tinggi.
"Terus terang saya ragu dengan keterangan Anda. Soalnya, bertentangan dengan kesaksian Wakil Bupati bahwa proyek itu tidak bisa dilanjutkan, karena tidak menjalankan rekom Ditjen yang harus menggunakan BUMD," tutur Kakim Ketua, Iwan.
Sedangkan dalam kesaksiannya Bupati Kuansing Andi Putra beralasan saat Hotel Kuansing dibangun, dirinya belum menjadi Ketua DPRD Kuansing.
Andi Putra menyebut nama Muslim yang merupakan mantan Ketua DPRD Kuansing periode 2009-20014. "Kalau gak salah (jaman) pak Muslim," kata Andi Putra.
Hakim meminta Andi Putra menjelaskan terkait proyek 3 pilar yang tidak menjalankan rekom dari Ditjen. Tetapi Abdi Putra menjawab, "Tidak ingat lagi yang mulia."
Hakim kemudian bertanya tentang anggaran pembangunan dan detail proyek 3 pilar, dan lagi-lagi Andi Putra mengaku lupa. Hakim kembali dibuat kesal.
"Anda kan anggota legislatif. Fungsinya ada tiga, pengawasan, penganggaran dan administrasi. Kok anda tidak jalankan tiga fungsi itu," tanya hakim.
JPU dalam dakwaannya menyebutkan korupsi terjadi pada tahun 2015. Saat itu dilakukan pembangunan ruang pertemuan hotel yang dikerjakan PT Betania Prima dengan pagu anggaran sebesar Rp13,1 miliar yang bersumber dari APBD Kabupaten Kuansing.
Tetapi sampai kontrak kerja berakhir, PT Betania Prima tak mampu menyelesaikan pekerjaan alias mangkrak.
Rekanan hanya mampu menyelesaikan bobot pekerjaaan sebesar 44,5 persen, dan total yang telah dibayarkan Rp5,263 miliar.
Hingga kini Hotel Kuansing belum bisa dimanfaatkan. "Hasil perhitungan kerugian negara mencapai Rp5.050.257.046,21," kata JPU.**