Pembangkangan RAPP Mengajak Rakyat Amnesia dan Rabun Jauh

Selasa, 00 0000 | 00:00:00 WIB
PT. Riau Andalan Pulp & Paper (PT RAPP)

JAKARTA, - Sahabat Pengadilan (Amici Curiae) yang berasal dari kalangan akademisi dan pakar hukum berbagai Perguruan Tinggi ternama di Indonesia, menyoroti kasus gugatan PT RAPP melawan kebijakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men LHK) di PTUN Jakarta.

PT RAPP memilih membangkang pada aturan pemerintah dan menolak merevisi Rencana Kerja Usaha (RKU) sesuai dengan kebijakan perlindungan gambut. Perusahaan tetap ngotot ingin berproduksi di kawasan kubah gambut, dan berdalih mampu mengendalikannya jika terjadi kebakaran hutan dan lahan, sehingga meminta pengecualian di saat puluhan perusahaan sejenis memilih untuk taat pada aturan pemerintah.

PT. RAPP mengajukan permohonan penetapan dikabulkannya keberatan mereka atas diterbitkannya Surat Menteri LHK Nomor SK. 5322/MenLHK-PHPL/UPL.1/10/2017 tentang Pembatalan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 173/VI-BHPT/2010 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 93/VI-BUHT/2013 (selanjutnya disebut SK Pembatalan RKUPHHK-HTI).

''Pandangan sebagai amici curiae kami ajukan atas dasar keprihatinan dan kepedulian atas kondisi perlindungan lingkungan hidup, di Indonesia, khususnya terkait dengan kebakaran hutan dan gambut,'' kata narahubung Amici Curiae, Andri G. Wibisana, dalam rilis pada media, Rabu (20/12/2017).

Gugatan tersebut kata Andri, dinilai sebagai upaya untuk mendeligitimasi PP No. 71 Tahun 2014, sebagaimana telah diubah oleh PP No. 57 Tahun 2016, tentang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (selanjutnya disebut PP Gambut) dan turunannya.

Rangkaian upaya tersebut, antara lain, adalah gugatan uji materil ke MA atas Peraturan Menteri LHK No. P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017, atau bahkan  penyebarluasan  hasil penelitian atau seminar sepihak yang didalangi oknum perusahaan yang pada intinya hendak mengatakan bahwa PP Gambut berbahaya bagi ekonomi Indonesia.

''Kami melihat bahwa upaya delegitimasi PP Gambut di atas hendak mengajak masyarakat Indonesia untuk menjadi amnesia,'' tegas Andri.

Amnesia alias lupa bahwa dua tahun lalu, dan juga tahun-tahun sebelumnya, terjadi kebakaran hebat yang melanda hutan dan gambut di Indonesia. Bencana yang mencekik rakyat, melumpuhkan ekonomi dan mengekspos rakyat di wilayah tersebut pada risiko kesehatan yang berbahaya.  

Kebakaran yang sama juga telah mempermalukan muka Indonesia di mata dunia, karena dianggap sebagai negara yang mengekspor bahaya kabut asapnya ke negara lain.

''Kami  juga  melihat  bahwa  upaya  delegitimasi PP Gambut mengajak kita untuk menjadi rabun jauh, sehingga hanya fokus pada potensi kerugian ekonomi jangka pendek yang dapat terjadi jika PP Gambut dilaksanakan,'' kata Andri.  

Upaya ini mengajak kita mengabaikan bahwa kerusakan gambut akibat pengeringan dan kebakaran berpotensi menimbulkan bencana lingkungan, mulai dari penurunan permukaan tanah dan banjir yang menyertainya, hancurnya fungsi hidrologis kawasan gambut, sampai pada hilangnya keanekaragaman hayati dikawasan tersebut.   

Sebagian dari bencana tersebut bersifat tidak lagi dapat dipulihkan, sehingga dampaknya akan dirasakan baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.  

Selain itu, kita juga diajak untuk melupakan bahwa kebakaran hutan dan gambut telah melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga dampaknya bukan hanya bersifat lokal tetapi juga global.

''Pengajuan amici curiae, karenanya, merupakan upaya kami untuk melawan lupa bahwa di Indonesia pernah terjadi bencana lingkungan hebat yang diakibatkan oleh salah urus hutan dan kawasan gambut,'' kata Andri.

Pandangan sebagai amici curiae yang diajukan pada dasarnya ingin mengatakan beberapa hal sebagai berikut:  

Pertama, bahwa SK Pembatalan RKUPHHK-HTI, secara formal tidak bertentangan dengan asas larangan retroaktif karena yang dinyatakan tetap berlaku menurut PP Gambut adalah izin, dan bukan rencana kerja (RKU). Selain itu perlu ditegaskan bahwa perlindungan gambut pada esensinya telah diatur dalam berbagai ketentuan sebelum PP Gambut. Pada posisi yang sama asas kepastian hukum tidak terlanggar akibat fungsi pengaturan yang dijalankan oleh pemerintah untuk mendukung perlindungan gambut tersebut.

Kedua, lebih jauh lagi, asas larangan retroaktif tidak bersifat mutlak, dan masih mungkin untuk dikalahkan oleh asas lain yang memiliki bobot kepentingan lebih tinggi.  

Dalam hal ini, amici curiae menganggap bahwa dalam konteks perlindungan lingkungan hidup, terdapat asas hukum lain yang lebih penting dibandingkan dengan asas larangan  retroaktif,  yaitu  asas  pembangunan  berkelanjutan, asas  pencegahan(principle of preventive action) dan asas kehati-hatian (precautionary principle), serta asas keadilan. SK  Pembatalan  RKUPHHK-HTI  dapat  dibenarkan  berdasarkan asas-asas hukum lingkungan ini.

Ketiga, SK Pembatalan RKUPHHK-HTI pun dapat dibenarkan dengan merujuk pada asas proporsionalitas. SK tersebut merupakan keputusan yang penting dan harus ada/tidak dapat digantikan (indispensable) bagi tercapainya tujuan PP Gambut, yaitu adanya perlindungan terhadap ekosistem gambut, serta pencegahan kebakaran dan pemulihan ekosistem gambut.

Selain itu, tujuan perlindungan gambut tersebut juga merupakan hal yang sangat bermanfaat guna menghentikan dan mencegah meluasnya kerusakan gambut yang telah terjadi di Indonesia.

Keempat, penerapan norma fiktif positif perlu dilakukan secara selektif dan hati-hati, terutama apabila terdapat kemungkinan bahwa persetujuan diam-diam yang dihasilkan oleh norma ini akan membahayakan kepentingan dan keselamatan publik serta membahayakan lingkungan hidup.

Kelima, Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014 tidak menentukan bahwa respon Badan/Pejabat Pemerintah terhadap permohonan seseorang haruslah di dalam bentuk keputusan. Artinya, respon tersebut dapat diberikan dalam bentuk tindakan faktual.

Oleh karena itu, penting bagi Majelis Hakim dalam perkara a quo untuk mempertimbangkan fakta apakah Termohon  telah melakukan tindakan faktual tertentu sebagai respon atas permohonan yang diajukan oleh Pemohon, dan apakah Pemohon telah mengetahui atau selayaknya dianggap mengentahui tindakan faktual yang dilakukan Termohon tersebut.

Keenam, terkait penerapan prosedur keberatan menurut Pasal 77, pengadilan perlu memperhatikan tindakan yang telah dilakukan oleh para pihak.
 
''Sebagai penutup, kami ingin mengingatkan Menteri LHK tentang kewenangan yang dimilikinya terkait pencegahan kebakaran dan pemulihan lahan gambut,'' jelas Andri.

Menurut PP Gambut, Menteri LHK memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan administratif terhadap pemegang izin yang lahannya mengalami kebakaran. PP tersebut memberikan  kewenangan  kepada  Menteri  untuk  mengambil  alih  lahan, memerintahkan pemegang izin untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan, menunjuk  pihak  ketiga  untuk  melakukan  penanggulangan  dan  pemulihan  dengan biaya dari pemegang izin, melakukan paksaan pemerintah, sampai dengan melakukan pembekuan atau pencabutan izin lingkungan.  

Selain itu, Kami juga hendak mengingatkan bahwa UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk mengajukan gugatan perdata dan/atau memulai penegakan hukum pidana terhadap pemegang izin, atas kebakaran yang telah terjadi di wilayahnya.  

''Kami berharap Pemerintah c.q. Menteri LHK berani menjalankan kewenangannya dalam penegakan hukum tersebut tanpa pandang bulu,'' tegas Andri. (rls)

Terkini