iniriau.com, Jakarta – Anggota DPD RI asal Nusa Tenggara Barat (NTB), Mirah Midadan Fahmid, menegaskan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Undang-Undang Kehutanan. Hal ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat Komite II DPD RI bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa waktu lalu.
Dalam rapat tersebut, Senator Mirah menyoroti berbagai persoalan lingkungan krusial yang terjadi di daerah, khususnya NTB sebagai cerminan lemahnya tata kelola hutan nasional. Salah satu isu utama yang disorotinya adalah praktik penanaman jagung di NTB yang tidak terkendali, yang menyebabkan banjir dan longsor hampir setiap tahun.
“Kita tidak bisa terus-menerus mengejar keuntungan ekonomi jangka pendek dengan mengorbankan lingkungan. Diperlukan solusi yang berkelanjutan bagi alam dan masyarakat,” tegasnya.
Selain permasalahan deforestasi, NTB juga menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sampah. Mirah mengungkapkan bahwa keterbatasan lahan dan anggaran menjadi hambatan utama, seperti yang terjadi di TPA Kebon Kongok, Lombok Barat, dan TPST Sandubaya di Kota Mataram, yang mengalami penumpukan akibat keterbatasan fasilitas.
“Kondisi ini membuat daerah kerap mendapat teguran dari pemerintah pusat karena tidak memenuhi standar pengelolaan sampah yang ditetapkan undang-undang,” ujarnya.
Ia juga menyoroti lemahnya infrastruktur pencegahan kebakaran hutan, meskipun Pasal 49 UU Kehutanan telah mengatur tanggung jawab pemegang izin dalam mencegah karhutla.
“Pencegahan harus menjadi prioritas, bukan hanya reaksi setelah bencana terjadi,” jelas Mirah.
Senator Mirah menyerukan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengatasi persoalan lingkungan di NTB. Ia juga mendorong terjalinnya kerja sama bilateral dengan negara-negara yang telah berhasil mengolah sampah menjadi energi terbarukan.
“Kita bisa belajar dari negara lain yang sudah sukses mengelola sampah menjadi energi. NTB punya potensi besar untuk mengadopsi teknologi serupa,” katanya.
Sebagai langkah konkret, Mirah mengusulkan program penghijauan berbasis komoditas ramah lingkungan dan bernilai ekonomi, serta investasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah yang modern dan efisien.
Ia juga menekankan pentingnya penguatan program perhutanan sosial. Saat ini, lebih dari 71.000 hektare hutan di NTB telah dikelola melalui skema ini, melibatkan sekitar 43.000 kepala keluarga, dengan potensi ekonomi mencapai Rp2,2 triliun. Namun, ia mengingatkan bahwa masih ada tantangan, seperti terbatasnya kapasitas teknis masyarakat dan lemahnya dukungan kelembagaan.
“Saya mendorong adanya pendekatan lintas sektor dan kolaborasi berbasis wilayah seperti Integrated Area Development. Hanya dengan cara ini kita bisa menjaga keberlanjutan ekosistem sekaligus memberdayakan masyarakat,” pungkasnya.**