Oleh: Zulkarnain Kadir (Pemerhati Birokrasi)
SECARA fisik, Bank Riau Kepri Syariah (B RK Syariah) memang terlihat megah dan representatif. Namun, di balik kemegahan itu, ekspansinya belum menunjukkan percepatan yang signifikan. Aktivitas pembiayaan masih didominasi oleh segmen ASN, bukan sektor produktif yang menyentuh masyarakat luas.
Modal BRK Syariah sebagian besar masih bersumber dari dana APBD, bukan dari tabungan dan kepercayaan masyarakat. Artinya, bank ini belum sepenuhnya menjadi penggerak ekonomi berbasis keuangan umat sebagaimana semangat awal konversinya ke syariah.
Dari sisi inovasi, BRK Syariah juga terlihat tertinggal. Tren perbankan modern yang menonjolkan layanan digital, kemudahan transaksi elektronik, dan perluasan jaringan perangkat keras seperti ATM, masih sangat terbatas. Kerja sama antarbank pun belum luas, sehingga jangkauan dan interkonektivitasnya belum optimal.
Tenaga di lapangan, terutama yang menangani kredit mikro dan pembiayaan lunak, juga belum banyak terlihat di pedesaan. Padahal, daerah inilah yang menjadi nadi ekonomi masyarakat Riau.
Dari sisi kepemilikan, saham Riau pun tidak mayoritas karena bank ini mengurus dua provinsi. Padahal, dengan potensi ekonomi Riau yang besar, semestinya pengaruh Riau dalam arah kebijakan BRK lebih kuat.
Perbankan adalah bisnis yang sangat bergantung pada kepercayaan publik dan dijalankan dengan kehati-hatian tinggi. Karena itu, sudah saatnya BRK Syariah memilih jajaran direksi dan komisaris dari kalangan profesional yang benar-benar mampu membawa bank ini berkembang bukan sekadar bertahan. Lebih baik membayar mahal untuk hasil besar, daripada murah tapi stagnan.
Ke depan, masyarakat tentu berharap BRK Syariah tidak hanya besar di rumah sendiri. Akan sangat membanggakan bila bank ini mampu membuka cabang di provinsi tetangga seperti Sumut, Sumbar, atau Jambi — paling tidak, menghadirkan mesin ATM di sana sebagai simbol eksistensi dan ekspansi keuangan daerah Riau yang modern dan berdaya saing.**