Oleh Zulkarnain Kadir, Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi
INI bukan lagi waktu beretorika.
Ini peringatan keras. Riau sudah terlalu sering menyaksikan pejabat datang dan pergi bukan karena prestasi, melainkan karena rompi oranye. Polanya sama, aktornya berganti, rakyat tetap menjadi korban.
- Baca Juga Korupsi Tak Pernah Takut pada Kata-kata
Jika hari ini Pemerintah Provinsi Riau masih berpikir bahwa korupsi bisa dicegah dengan spanduk, apel integritas, dan imbauan normatif, maka sesungguhnya Riau sedang menipu dirinya sendiri.
Dengar Baik-Baik
Korupsi di Riau bukan terjadi karena kurang aturan, melainkan karena pembiaran sistemik, kompromi politik, dan keberanian menutup mata.
Masalah struktural tidak bisa disembuhkan dengan terapi biasa. Riau membutuhkan terapi khusus dari KPK RI.
Tuntutan tegas
KPK RI wajib masuk lebih dalam ke Riau.Supervisi APBD, pergeseran anggaran, hibah, bansos, dan proyek strategis harus dikawal secara ketat.
Pejabat rawan konflik kepentingan harus disingkirkan sekarang. Jangan menunggu OTT. Jangan menunggu viral. Jangan menunggu rakyat muak.
Pemerintah Riau harus berhenti berlindung di balik kata “proses”. Proses tanpa keberanian hanyalah kedok pembiaran.
Kepala daerah harus memimpin langsung pencegahan korupsi. Bukan sekadar menandatangani pakta integritas, tetapi berani menindak orang terdekat sendiri.
Ini ultimatum moral
Jika terapi khusus KPK ditolak, dihindari, atau dilemahkan, publik berhak menyimpulkan, ada pihak yang takut sembuh karena selama ini menikmati penyakitnya.
Riau kaya, Riau strategis, namun Riau terus terluka karena korupsi yang dipelihara. OTT bukan aib terbesar. Aib terbesar adalah mengetahui sistemnya busuk, tetapi memilih diam.
Ini peringatan keras.
Bukan ancaman.
Bukan opini kosong.
Ini alarm terakhir.
Menurut data yang ada, empat gubernur, 20 bupati/wali kota, satu pejabat eselon I, sejumlah kepala dinas/badan, serta beberapa anggota DPRD di Riau tersangkut kasus korupsi. Riau membutuhkan terapi khusus KPK, bukan sekadar vitamin integritas.
Riau butuh terapi khusus, bukan vitamin integritas
Riau bukan kekurangan aturan, tetapi kelebihan luka lama. Korupsi terus diulang dengan pola yang hampir sama. APBD menjadi ladang, proyek menjadi umpan, jabatan menjadi alat tawar.
Jika KPK hanya datang seminar, berfoto, lalu pulang, itu bukan terapi—itu vitamin.
Riau membutuhkan rawat inap, bukan obat warung.
Apa Itu “Terapi Khusus” ala KPK untuk Riau?
Supervisi Ketat APBD dari hulu ke hilir.Bukan hanya perencanaan, tetapi juga pergeseran anggaran, belanja hibah dan bansos, proyek multiyears, pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD. Semua harus dibuka, dipantau, dan dikunci. Yang aneh langsung ditandai.
Screening integritas pejabat, bukan sekadar asesmen formal
Banyak pejabat lulus asesmen, tetapi gagal integritas. KPK perlu melakukan audit gaya hidup, penelusuran relasi bisnis dan politik, deteksi konflik kepentingan.
Jika tidak lolos, jangan duduk di kursi basah.
Penetapan Zona Merah Korupsi secara terbuka
Riau harus berani jujur, OPD mana yang paling rawan, sektor mana yang paling busuk, pola mana yang paling sering diulang. Bukan untuk mempermalukan, melainkan mencegah sebelum OTT.
Kepala Daerah jangan sekadar mengimbau
Pelaksana tugas gubernur—dan kelak gubernur definitif—harus memimpin langsung agenda pencegahan korupsi, mengikat pakta integritas dengan sanksi nyata, memberhentikan pejabat bermasalah sebelum KPK datang. Jika hanya berkata “jangan korupsi”, itu ceramah, bukan kepemimpinan.
Rakyat dilibatkan, bukan dijadikan penonton
Data APBD dibuka secara sederhana dan mudah diakses, laporan masyarakat ditindaklanjuti, bukan disimpan, perlindungan terhadap pelapor dijamin. Korupsi subur karena rakyat dipaksa diam.
Riau jangan menunggu OTT untuk sembuh
OTT adalah alarm kebakaran, bukan solusi. Jika Riau ingin benar-benar sembuh, KPK harus hadir sebelum api menyala, bukan setelah semuanya terbakar. Dan jika elite Riau menolak terapi khusus ini, satu pertanyaan patut diajukan.
Takut sembuh, atau takut ketahuan?
Ke depan, jika kembali terjadi OTT KPK di Riau, publik berhak menilai bahwa KPK hanya pandai menangkap, tetapi belum serius mengawasi dan memberi terapi khusus agar Riau benar-benar bebas dari korupsi.**
