iniriau.com, ROHUL - PT Ekadura Indonesia (PT EDI) lepaskan 180 hektar lahan perkebunan kelapa sawit yang sudah masuk zona merah kawasan hutan produsi dari Hak Guna Usaha (HGU). Kini hasil panen kebun tersebut diduga dikelola oknum inisial KSB yang mengatasnamakan tokoh,ninik mamak masyarakat Desa Kota intan Kecamatan Kunto Darussalam, Rokan Hulu.
Ketua Ikatan Wartawan Online ,IWO Rohul Acce Nauli memohon kepada aparat penegak hukum (APH), mulai dari kejaksaan dan kepolisian serta Pemerintah Daerah Rokan Hulu agar meninjau dan menindak lanjuti status lahan perkebunan kelapa sawit lepasan dari PT Ekadura tersebut,dan menindak tegas bila terbukti merupakan tindak pidana.
"Saya mengharapkan kepada aparat penegak hukum agar menindak tegas oknum yang mengelola hutan produksi termasuk lahan perkebunan lepasan dari PT Ekadura Indonesia tersebut," tegas Acce.
Lebih lanjut Acce Nauli mengharapkan kepada Pemkab Rohul agar perjelas badan hukum dan status lahan tersebut.
"Apakah hasil panen TBS kelapa sawit di lahan kawasan hutan produksi tersebut diperbolehkan dipanen oknum warga Desa Kota Intan, apa dasar hukumnya," ujarnya.
Dari hasil pantauan ketua IWO, aktifitas pemanenan TBS di kawasan tersebut sudah berlangsung lebih kurang lima bulan, dan hingga kini belum jelas arah penggunaan anggarannya.
"Apakah hasil panen kebun 180 hektar tersebut sudah sesuai pembagian dan peruntukannya," tanya Acce
Dari beberapa sumber yang ditemui di lapangan beberapa hari yang lalu, kebun kelapa sawit 180 hektar tersebut dipanen oleh masyarakat yang diketuai oleh KSB dan hasil panennya di bagikan ke masyarakat dengan nominal bervariasi. Ada yang mendapat 250 ribu, 350 ribu dan 400 ribu perbulannya untuk satu kepala keluarga tanpa mengetahui berapa hasil panen kebun sawit yang 180 hektar tersebut.
"Iya benar bang. Lahan lepasan dari PT Ekadura tersebut dikelola oleh masyarakat dengan mengatas namakan tokoh masyarakat dan ninik mamak yang diketuai inisial KSB dan hasil panen kebun tersebut tidak jelas penggunaannya," ujar warga yang enggan identitasnya disebutkan.
Ditempat terpisah, ketua pengelola lahan tersebut, KSB ketika di hubungi via selulernya membantah dan mengatakan semua yang mereka lakukan berdasarkan hasil rapat dan musyawarah akbar dan tertulis dalam berita acara. Terkait lahan 180 hektar tersebut pihaknya dipaksa menerima sesuai dengan perjanjian di LAM antara PT Ekadura dengan masyarakat Kota intan dan unsur pemerintah.
"Kami menjalankan sesuai dengan perjanjian yang ada dan sudah tiga kali sidang di kantor bupati,satu kali sidang di LAM Rohul,perjanjian sdh jelas,apa lagi".tulis KSB lewat WhatsApp (WA) selulernya.
Lebih lanjut KSB menuliskan jika pihak PT EDI ingkar janji pihaknya akan bawa perjanjian tersebut ke pemda Rohul agar dapat diselesaikan.
" Untuk sementara kami sebagai pengelola sudah diamanatkan oleh masyarakat sesuai dengan berita acara dan akan menjalankan amanat ini pada jalur yg telah disepakati," tulis KSB
Anehnya, pihak Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu,melalui Kabag Adwil Pemkab Rohul, M Franovandi SSTP MSi ketika dihubungi menjelaskan dan tidak mengetahui bahwa lahan tersebut sudah diserahkan oleh PT EDI kepada masyarakat Kota Intan .
"Maaf,kita tidak mengetahui lahan tersebut diserahkan kepada masyarakat Desa Kota Intan. Masalah HGU dan Hutan lindung adalah kewenangan pusat," ujar Novan.
Yang lebih miris lagi dari pihak PT EDI Ginanjar Maolid menegaskan tidak pernah memberikan lahan kebun sawit 180 hektar yang sudah masuk kawasan hutan produksi tersebut kepada masyarakat Desa Kota Intan. Ginanjar menjelaskan, pada tahun 2016 lalu pemerintah pusat menyatakan beberapa lahan yang termasuk kawasan hutan lindung termasuklah beberapa hektar yang ada di HGU perusahan PT EDI. Maka pihaknya harus melepaskan ratusan hektar kebun kelapa sawit tersebut.
"Kami pihak perusahaan tidak pernah menyerahkan lahan kebun sawit 180 hektar tersebut kepada masyarakat. Dalam pengurusan HGU yang baru nanti lahan tersebut akan kami serahkan kepada pemerintah pusat,karena merekalah yang memberikan kami HGU,"jelas Ginanjar.
Ginanjar juga menegaskan menolak hasil panen TBS dari kebun 180 hektar yang masuk kawasan hutan produksi tersebut dijual ke perusahaannya.
"Kita sama sekali tidak menerima hasil panen dari kebun tersebut,"ujar Ginanjar.**