iniriau.com, SIAK - Dalam surat 445 yang dibawa Paslon 03 Alfedri-Husni ke Mahkamah Konstitusi (MK), disebutkan bahwa ada 125 orang yang kehilangan hak konstitusionalnya di RS T Rafian Siak, tidak dapat memilih karena kelalaian KPU. Padahal faktanya KPU telah berupaya menyurati pihak RS dan dari hasil verifikasi data secara faktual, yang Memenuhi Syarat (MS) hanya 64 orang, sisanya Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Dari hasil pleno yang dilakukan Senin (18/3/2025) malam, dari 125 pemilih yang TMS, disebutkan karena bukan DPT Siak berjumlah 9 orang, tidak terdaftar di DPT 2 orang, pemilih ganda 1 orang, sudah meninggal 14 orang, pulang dari RSUD sebelum 27 November berjumlah 1 orang dan hadir di TPS masing-masing 34 orang, sehingga jumlah TMS menjadi 61 orang. Sedangkan yang MS 64 orang terdiri dari 19 pemilih laki-laki dan 45 pemilih perempuan.
"Di luar yang meninggal, ada 34 orang yang disebut kehilangan hak memilih di RS saat tanggal 27 November lalu, ternyata sudah memilih. Artinya KPU sudah bekerja benar. Ironinya, Paslon 03 juga membawa data dari pihak RSUD dengan memasukkan 9 orang yang bukan DPT Siak dan tidak terdaftar di DPT 2 orang," kata pengamat politik Riau, Alexander Yandra.
"Ini sangat fatal sekali dan sama artinya Paslon 03 bersama dengan Direktur RSUD berikut saksi dari pihak RSUD diduga kuat memanipulasi data DPT. Artinya ada pembohongan publik dan membawa data palsu ke MK. Inilah tragedi politik dan demokrasi jika pondasi demokrasi sendiri yaitu DPT tidak akurat, bahwa MK kemudian memutuskan PSU Pilkada Siak dan harus ditanggung rakyat Siak bebannya, diakibatkan oleh dugaan penggunaan data palsu ini, tentu ini adalah bentuk buruknya singkronisasi data pemilih. Mestinya pihak RSUD harus membuka data ke publik agar data pemilih lebih transparan dan akuntabel. Atau memang RSUD sendiri sudah partisan kesalah satu paslon?," tanya Alex.
Dikatakannya, bahwa dengan ditetapkannya jumlah DPT oleh KPU Siak hanya 64 orang, maka kebohongan dan dugaan penggunaan data palsu oleh pihak RSUD yang kemudian digunakan oleh Paslon 03 untuk menggugat ke MK, sudah selayaknya dapat dilaporkan ke pihak berwenang atau bisa juga melaporkan bahwa pihak RSUD melakukan kebohongan publik. Maka perlu dilakukan audit karena RSUD adalah milik masyarakat.
"Pihak RSUD tentu sangat bisa dituntut karena telah membawa data palsu ke MK. Menurut saya ini tragedi dan sangat mencederai demokrasi yang harusnya berazaskan kejujuran dan keadilan," kata Alex.
Atas kejadian ini Alex juga memberi kritik tajam kepada Hakim MK, karena tidak jeli dan tidak cermat dalam putusannya melaksanakan PSU di Rumah Sakit. Mestinya MK harus mampu melakukan tracking dan verifikasi data yang diadukan oleh pemohon sebelumnya.
Apalagi lokasi khusus PSU di RS milik pemerintah, baru pertama kali terjadi dalam sejarah Pemilu di Indonesia. Tidak ada dalam UU dan PKPU yang mewajibkan ada TPS lokasi khusus di Rumah Sakit.
"Putusan MK yang harusnya murni justru berasal dari dugaan penggunaan data palsu yang ditelan mentah-mentah. Inilah bukti bahwa Hakim MK juga manusia biasa, yang bisa membuat putusan sangat tidak cermat atas gugatan Paslon 03 dan hari ini akibatnya harus ditanggung rakyat se-Kabupaten Siak. Kemenangan rakyat melalui demokrasi yang jujur justru sedang dipertaruhkan kembali lewat PSU. Ini tragedi politik dan demokrasi tak hanya untuk Siak, tapi juga Riau dan Indonesia," tutup Alex.**