iniriau.com, Pekanbaru – Sidang praperadilan kasus arisan online yang menyeret RAR dan RF menjadi tersangka, bergulir di PN Pekanbaru, Kamis (3/7). Dari hasil sidang praperadilan tersebut, kuasa hukum RAR dan RF menghadirkan saksi dari pihak keluarga yaitu, Au, adik sepupu RAR.
Au memberikan keterangan jika RAR dan DJ adalah murni teman bisnis, dan dalam bisnis yang dijalankan ada perjanjian dan kesepakatan.
Selain itu, Au juga menjelaskan jika RAR dijadikan sebagai tersangka saat kasus perdata bisnis onlinenya tersebut sedang dalam proses hukum.
"Kakak saya dan DJ itu teman bisnis. Mereka buat perjanjian kesepakatan dan perjanjian bersama. Sayangnya, bisnis mereka ini bermasalah dan dalam proses hukum perdatanya tiba-tiba RAR ditetapkan sebagai tersangka," kata Au saat di wawancara iniriau.com, Kamis (3/7) usai sidang pra peradilan di PN Pekanbaru.
Au lebih lanjut menuturkan, setelah menjalani proses penyelidikan di Ditreskrimsus Polda Riau, RAR langsung ditahan dan barang bukti yaitu HP disita pihak kepolisian.
"Kakak saya ditahan saat kasus hukum perdata arisan online sedang berjalan, lalu saat proses penyelidikan Kakak saya langsung ditahan oleh pihak kepolisian dan hp nya disita. Saya yang langsung serahkan hp nya saat itu," kata Audrey dengan lugas menambahkan penjelasannya.
Audrey juga lebih detail menjelaskan, barang bukti dari kasus arisan online tersebut adalah screenshot percakapan antara RAR dan DJ.
"Buktinya adalah sejumlah screenshot percakapan antara Kakak saya dan DJ," jelasnya lagi.
Tim Kuasa Hukum RAR dan RF Ahmad Yusuf menjelaskan sidang pra pada Kamis siang tersebut banyak ditemukan sejumlah kejanggalan.
Ahmad Yusuf mengatakan penetapan tersangka RAR dan RF sebagai tersangka cacat administrasi.
"Dipersidangan tadi kita juga hadirkan saksi ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum UNRI. Setelah mendengar penjelasan dari ahli pidana tersebut, maka penetapan tersangka klien saya cacat administrasi, dan ada pelanggaran prosedur hukum," kata laki-laki yang biasa disapa AY lagi.
Saat ditanya seperti apa cacat administrasi dan pelanggaraan prosedur hukumnya, AY menjelaskan proses administrasi seperti sprindik salah penanggalan yaitu tidak valid secara administratif.
Pada Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) sebagai dasar penetapan tersangka, tertulis tahun yang salah, yaitu "Tahun 2025". Sementara laporan polisi yang menjadi dasar dikeluarkan tahun 2024.
“Bagaimana bisa seseorang ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan surat perintah yang salah tahun? Ini bukan kesalahan kecil, tapi kegagalan administratif yang mencederai hak konstitusional Pemohon,” tegas AY.
Kemudian, terdapat dua sprindik dan dua SPDP tanpa kejelasan hukum. Dalam hal ini, penyidik menggunakan dua Sprindik berbeda dan dua SPDP tanpa kejelasan hukum apakah sprindik pertama dicabut atau diganti.
Dua SPDP yang dikeluarkan pihak penyidik ini, menimbulkan keraguan serius atas legalitas penyidikan dan status tersangka pemohon.
Selain itu, surat pemanggilan juga cacat prosedur. Surat pemanggilan RAR dan RF tidak menjelaskan dengan tepat status hukumnya. Plus, tidak mencantumkan secara jelas dasar sprindik yang sah dan pemanggilan dilakukan setelah penetapan tersangka. Hal tersebut bertentangan dengan Putusan MK no. 21/PUU-XII/2014.
Kejanggalan lainnya pada kasus RAR dan RF ini adalah alat bukti digital tidak sah menurut yurisprudensi.
Alat bukti yang diserahkan berupa screenshot percakapan WhatsApp tanpa penyitaan resmi perangkat digital, verifikasi oleh forensik digital dan pemeriksaan keaslian meta data.
Hal tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 42K/Pid.Sus/2013 yang menyatakan bahwa bukti digital yang tidak diverifikasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti sah dalam perkara pidana.
"Oleh karena itu, saya berharap dan memohon pada agar Majelis Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Pekanbaru bisa mengabulkan permohonan praperadilan secara menyeluruh demi keadilan, kepastian hukum dan perlindungan HAM," tutup AY mengakhiri wawancara dengan iniriau.com.**