Riau, Tanah Bertuah ..

Riau, Tanah Bertuah ..

Oleh Zulkarnain Kadir Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi

RIAU sejak lama dikenal sebagai tanah bertuah, sebutan yang lahir dari kekayaan alam melimpah dan nilai budaya Melayu yang menjunjung tinggi amanah, marwah, serta keadilan. Provinsi ini dianugerahi minyak dan gas, hutan, sungai, laut, serta letak geografis strategis di jalur perdagangan internasional. Namun di balik julukan itu, muncul pertanyaan besar di tengah masyarakat: sejauh mana tuah tersebut benar-benar dirasakan rakyat?

Berbagai kalangan menilai, Riau sejatinya bukan daerah miskin. Persoalan utama justru terletak pada tata kelola dan distribusi manfaat kekayaan alam. Di saat angka triliunan rupiah kerap disebut dalam laporan dan pidato resmi, masih banyak wilayah yang bergulat dengan infrastruktur rusak, akses pendidikan terbatas, layanan kesehatan yang belum merata, serta minimnya lapangan pekerjaan.

“Riau kaya sumber daya, tetapi kesejahteraan rakyat belum sebanding. Ini menandakan ada masalah serius dalam pengelolaan,”

Budaya Melayu yang menjadi jati diri Riau sejatinya mengajarkan nilai amanah, rasa malu berbuat salah, serta tanggung jawab moral pemimpin kepada rakyat. Nilai-nilai tersebut kini dinilai tengah diuji di tengah dinamika kekuasaan, kepentingan ekonomi, dan lemahnya pengawasan.

Agar Riau tetap layak menyandang predikat tanah bertuah, diperlukan perubahan mendasar. Kekayaan alam harus dikelola secara transparan dan akuntabel, pembangunan mesti dirasakan hingga ke pelosok desa, serta penegakan hukum harus berjalan tegas tanpa pandang bulu.

“Tuah tidak boleh berhenti di atas kertas atau laporan keuangan. Ia harus hadir dalam bentuk kesejahteraan nyata,”

Masyarakat berharap, ke depan Riau tidak hanya dikenal sebagai daerah kaya sumber daya, tetapi juga sebagai provinsi yang berhasil mewariskan pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial bagi generasi mendatang. Sebab, hakikat tanah bertuah bukan semata tentang apa yang diambil dari bumi, melainkan apa yang ditinggalkan untuk masa depan, Dalam khazanah budaya Melayu, istilah tanah bertuah bukan sekadar ungkapan puitis. Ia mengandung makna mendalam tentang keseimbangan antara alam, manusia, dan kekuasaan. Riau disebut tanah bertuah karena diyakini memiliki keberkahan alam sekaligus rambu moral yang harus dijaga. Ketika rambu itu dilanggar, masyarakat Melayu meyakini akan ada “sanksi tuah” yang datang, baik secara sosial maupun alamiah.

Tanda-tanda Tanah Bertuah

Tanah dikatakan bertuah bila menunjukkan beberapa tanda utama. Pertama, alam memberi kecukupan, bukan keserakahan. Sungai hidup, hutan terjaga, hasil bumi mengalir, dan bencana tidak datang beruntun. Kedua, pemimpinnya amanah, takut berbuat zalim, dan malu memperkaya diri di atas penderitaan rakyat. Ketiga, rakyat hidup beradab, hukum dihormati, adat dijunjung, dan konflik dapat diselesaikan dengan musyawarah.

“Tanda bertuah itu bukan gedung tinggi atau angka triliunan, tapi ketenangan sosial dan rasa keadilan,”

Selain itu, tanah bertuah juga ditandai oleh doa orang-orang teraniaya yang tidak berlama-lama menggantung di langit. Ketika rakyat masih percaya pada keadilan, itulah pertanda tuah masih dijaga.

Sanksi Melanggar Tuah

Sebaliknya, ketika tuah dilanggar melalui korupsi, perusakan alam, pengkhianatan amanah, dan ketidakadilan masyarakat Melayu percaya akan muncul sanksi, meski tidak selalu bernama hukuman hukum.

Sanksi pertama adalah hilangnya keberkahan. Kekayaan ada, tetapi tidak menyejahterakan. Anggaran besar, namun utang menumpuk dan krisis datang silih berganti. Sanksi kedua adalah kerusakan alam: banjir, kebakaran hutan, kabut asap, dan konflik lahan yang berulang.

Sanksi berikutnya bersifat sosial dan politik, yakni hilangnya kepercayaan rakyat. Pemimpin tidak lagi dihormati, kebijakan ditolak, dan legitimasi runtuh. Dalam adat Melayu, ini disebut jatuh marwah hukuman paling berat karena menghapus kehormatan.

“Adat mengajarkan, melanggar tuah berarti mengundang bala. Bukan karena mistik, tetapi karena hukum sebab-akibat,”

Peringatan bagi Riau Hari Ini

Tanda-tanda pelanggaran tuah mulai terasa ketika kekayaan alam tidak lagi berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Jika dibiarkan, Riau berisiko kehilangan bukan hanya kekayaan, tetapi juga identitas dan marwahnya sebagai negeri Melayu.

Karena itu, menjaga tuah bukan urusan simbol dan slogan, melainkan keberanian menegakkan amanah, menolak korupsi, dan memulihkan keadilan. Tanah bertuah hanya akan bertahan jika dijaga dengan etika, bukan dieksploitasi dengan serakah.

Sebagaimana petuah Melayu, “Tuah dijaga, negeri sejahtera. Tuah dikhianati, negeri merana.” **

#Pemerintahan

Index

Berita Lainnya

Index