Oleh Zulkarnain Kadir Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi
PUBLIK sebenarnya sedang menanti satu hal penting: keberanian membuka debat terbuka antara kepala daerah Bupati Siak DR. Afni Zulkifli dengan Menteri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa soal porsi anggaran pusat ke daerah penghasil migas, sawit, dan pajak.
Pertanyaannya sederhana, ke mana larinya uang dari tanah kami?
Siak adalah potret telanjang ketimpangan fiskal Indonesia. Di bawah tanahnya minyak dan gas, di atas tanahnya kebun sawit. Pajak dipungut, produksi berjalan, devisa mengalir. Tapi APBD kosong, kegiatan minim, pembangunan tersendat. Jalan rusak, layanan publik terbatas, angka kemiskinan tak kunjung turun. Ini bukan soal salah urus semata ini, soal sistem pembagian yang timpang.
Riau lebih besar skalanya, lebih parah ironi-nya. Provinsi dengan 7 juta jiwa, wilayah terluas kedua di Sumatra setelah sumsel dan dua kali Provinsi Sumbar luas nya, penghasil migas terbesar di indonesia, bahkan sawit terbesar di dunia. Namun APBD 2026 hanya sekitar Rp8,3 triliun. Bandingkan dengan provinsi yang sumber dayanya biasa saja tapi APBD-nya jauh lebih gemuk. Lalu negara masih bertanya: “Kenapa Riau tertinggal?”
Jika debat itu terjadi, apa kira-kira jawaban Menkeu? Biasanya normatif: aturan UU, skema Dana Bagi Hasil (DBH), pemerataan nasional, dan efisiensi daerah. Semua terdengar rapi di atas kertas. Tapi realitas di lapangan berteriak sebaliknya: daerah penghasil jadi penonton, pusat jadi pengendali penuh.
Yang ingin didengar rakyat Siak dan Riau bukan sekedar retorika fiskal, tapi keadilan konkret: mengapa DBH migas dan sawit tak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan beban sosial?
Mengapa pajak besar yang dipungut di daerah tak kembali sebagai layanan dan infrastruktur?
Kenapa daerah kaya SDA justru miskin fiskal? Pertanyaan berikutnya lebih politis dan lebih pahit. Berani nggak Purbaya bicara blak-blakan? Dan maukah presiden mendengarnya, atau tidak?
Karena masalah Siak bukan kasus tunggal. Ini terjadi di banyak daerah penghasil di Indonesia. Jika pusat terus menutup mata, maka pesan yang sampai ke rakyat jelas: kaya sumber daya bukan jaminan sejahtera, yang sejahtera hanya yang memegang kendali anggaran.
Selama sistem ini tak dibongkar, Riau akan terus jadi ironi nasional: di bawah minyak, di atas minyak (sawit), tapi rakyatnya disuruh sabar. Dan publik akan terus bertanya, sampai kapan?
Menurut data yg ada, kebun sawit di Kabupaten Siak 346 897 ha, dan penghasil minyak bumi 8.000 barel per hari untuk Riau, atau satu hari menghasil kan minyak rata-rata 180.000 barel, dan luas lahan sawit 3,4 juta hektar.
Dengan potensi itu Siak dan Riau coba meneropong secara benar, berapa yg balik ke Siak dan Riau dari pusat? Keadilan itu jauh sekali. Pak Purbaya, kapan bisa debat terbuka dengan Bupati Siak? Kami menunggu!**
