Oleh Zulkarnain Kadir Pengamat Hukum dan Pemerhati Birokrasi
HARI INI, membandingkan kerja antar kepala daerah dan apa yang dibuat atau dikerjakan bukan lagi perkara sulit. Zaman sudah berubah. Data terbuka, media sosial hidup, dan AI hadir sebagai alat bantu rakyat untuk menilai: siapa bekerja, siapa sekadar bicara, dan siapa yang hanya seremoni.
Kepala daerah yang tak pandai memanfaatkan AI, media sosial, dan teknologi informasi bukan pemimpin sederhana, ia pemimpin kuno. Bukan karena usia, tetapi karena cara berpikir. Di era keterbukaan, ketertutupan bukan lagi pilihan, melainkan tanda ketakutan.
Janji kampanye kini tak bisa lari. Semua tersimpan rapi dalam jejak digital. Rakyat tinggal membandingkan APBD besar atau kecil, hasilnya terasa atau tidak. Seremonial ramai, pembangunan sepi. Konten penuh pencitraan, tetapi data kosong.
Pemimpin modern menjelaskan kebijakan dengan jujur, membuka data, dan berani dikritik. Pemimpin yang alergi terhadap media sosial dan transparansi biasanya punya satu masalah klasik: tak siap dibandingkan. AI hari ini mampu membaca anggaran, menelusuri proyek, bahkan mengukur efektivitas kebijakan. Jika rakyat bisa mengaksesnya, mengapa kepala daerah justru tertinggal? Atau jangan-jangan memang tak ingin kinerjanya terlihat?
Zaman pemimpin bekerja dalam senyap sudah selesai. Uang publik menuntut laporan publik. Kekuasaan tanpa transparansi hanya melahirkan kecurigaan. Maka jelas, kepala daerah yang menolak teknologi sedang menolak akuntabilitas. Dan pemimpin yang menolak akuntabilitas, cepat atau lambat, akan ditinggalkan rakyat dan zaman.
Kenapa AI, media sosial, dan transparansi dibutuhkan saat ini? Karena zaman sudah berubah, rakyat sudah cerdas, dan uang publik makin besar risikonya disalahgunakan. AI alat membaca kinerja, bukan sekadar gaya AI membantu membaca data APBD, serapan anggaran, dan hasil pembangunan. Membandingkan daerah secara objektif. Mendeteksi pola pemborosan, proyek berulang, dan kebijakan gagal.
Tanpa AI, keputusan sering berbasis perasaan dan kepentingan, bukan data. Media sosial ruang komunikasi langsung dengan rakyat. Media sosial bukan panggung joget atau pencitraan semata, tetapi. Sarana menjelaskan kebijakan yang rumit. Tempat mendengar keluhan rakyat tanpa birokrasi berlapis. Alat uji kejujuran pemimpin yang bekerja tak takut komentar. Pemimpin yang anti-media sosial biasanya anti-kritik.
Transparansi pengaman dari korupsi
Transparansi membuat rakyat tahu ke mana uang pajak pergi. Pejabat berpikir dua kali untuk menyimpang. Kepercayaan publik tumbuh. Di ruang gelap, korupsi subur. Di ruang terang, ia tercekik. Rakyat sekarang bisa membandingkan. Dengan AI dan media sosial, rakyat bisa bertanya. Kenapa daerah A bisa, daerah B tidak? Kenapa anggaran besar, hasil kecil? Pemimpin yang tak siap dibandingkan biasanya memang kalah hasil. Legitimasi kekuasaan hari ini lahir dari keterbukaan Dulu, kekuasaan bertahan dengan wibawa. Sekarang, kekuasaan bertahan dengan data dan kejujuran.
Kesimpulan tegas, AI adalah otak bantu, media sosial adalah lidah rakyat, transparansi adalah cahaya.
Tanpa ketiganya, kepemimpinan mudah tersesat dan cepat ditinggalkan.**
