Tinjau Kebun dan Industri CPO

Resolusi Sawit, Uni Eropa ke Riau

Resolusi Sawit, Uni Eropa ke Riau
Resolusi Sawit, Uni Eropa ke Riau

JAKARTA - Perwakilan parlemen Uni Eropa akan datang ke Indonesia untuk melakukan pertemuan terkait resolusi sawit pekan depan. Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerend menjelaskan, delegasi tersebut terdiri dari enam anggota trade committee. Mereka akan bertemu dengan perwakilan dari pemerintah, parlemen, dan masyarakat untuk membicarakan resolusi sawit.

”Ini memang harus kita bicarakan. Uni Eropa adalah negara terbesar kedua yang menjadi pasar sawit Indonesia. Kami juga akan membentuk working group untuk mengatasi persoalan ini,” kata Guerend, Selasa (16/5/17).

Guerend menambahkan, selain melakukan pertemuan dengan pihak-pihak terkait, para delegasi juga akan terbang ke Riau untuk berkunjung ke perkebunan sawit. Disana, mereka akan melihat langsung bagaimana industri sawit Indonesia.

”Mereka akan menghabiskan tiga hari di Indonesia. Di Jakarta dan Riau,” ungkap Guerend.

Direktur Perencanaan dan Pengembangan Pendanaan Pembangunan Bappenas Kennedy Simanjuntak membenarkan hal tersebut. Menurutnya, Parlemen Uni Eropa telah menginformasikan akan melakukan lawatan ke Indonesia.

”Akhirnya, mereka datang. Kita bilang oke. Utamanya memang akan membicarakan soal CPO (minyak sawit, red),” kata Kennedy.

Kennedy menyambut baik kunjungan tersebut. Dia mengatakan, kunjungan itu akan jadi kesempatan Indonesia untuk menunjukkan industri minyak sawit Indonesia tidak seperti yang selama ini mereka nilai.

”Kita tidak ada niat untuk merusak hutan, jutaan orang hidup di industri itu, kita juga punya regulasi. Itu yang harus kita tunjukkan,” terang Kennedy.

”Kita malah sedang mengembangkan sertifikasi,” tambah Kennedy.

Sayangnya, sertifikasi yang sedang dikembangkan Indonesia ini belum dipahami Uni Eropa yang menjadi pasar. Kennedy mengatakan, ada beberapa hal yang berbeda antara sertifikasi yang sedang dikembangkan Indonesia dan sertifikasi yang dilakukan oleh Uni Eropa. Menurut Kennedy, standarnya ada yang berbeda secara teknis.

”Kita sampaikan perbedaan dan persamaan dengan standar mereka. Harapannya, mereka bisa pahami dulu dan harapannya bisa menerima,” jelasnya.

Terkait regulasi, lanjut Kennedy, yang masih menjadi masalah adalah penerapannya.

Penerapannya belum mencapai seratus persen. Ada beberapa faktor yang membuat penerapannya masih sulit dilakukan.

Yang utama adalah kapasitas. Bukan tidak mungkin jika Uni Eropa telah mengetahui dan melihat langsung permasalahan yang dihadapi Indonesia, mereka malah akan memberikan bantuan.

”Seperti waktu kita melakukan sertifikasi timber. Kita mengalami kesulitan mengembangkan sertifikasi itu. Akhirnya, mereka bantu kembangkan sertifikasi. Pelaku industrinya juga di-training untuk dapat sertifikasi,” tutur Kennedy. (riaupos.co)


Berita Lainnya

Index