INIRIAU.COM -- HANYA dalam kurun waktu tujuh bulan sejak dilantik, Idrus Marham mengundurkan diri dari jabatan menteri sosial. Idrus mundur setelah berstatus tersangka kendati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mengumumkannya secara resmi.
Idrus, mantan Sekjen Partai Golkar, diangkat menjadi menteri sosial menggantikan Khofifah Indar Parawansa pada 17 Januari. Pada 26 Juli, ia diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan korupsi kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau 1 di Provinsi Riau.
Setelah tiga kali diperiksa, pada Kamis (23/8) Idrus menerima surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) dari KPK. Dengan demikian, status Idrus naik dari saksi menjadi tersangka. Ia menjadi menteri pertama di Kabinet Kerja yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Idrus yang mengumumkan sendiri statusnya sebagai tersangka tentu saja patut diapresiasi. Selama ini, jika seorang pejabat dinyatakan sebagai tersangka oleh penegak hukum, dengan dalih asas praduga tak bersalah mereka ogah mundur. Mereka berlindung di balik peraturan yang menyebutkan bahwa hanya pejabat yang sudah mendapatkan vonis berkekuatan hukum tetaplah yang harus mundur.
Terlepas dari kekurangan Idrus Marham yang posisinya sebagai menteri sosial digantikan Agus Gumiwang Kartasasmita, ada hikmah pengunduran dirinya terkait dengan etika kepublikan.
Elok nian bila ke depannya jika ada pejabat yang baru diduga terkait dengan kasus etika, apalagi pidana, mau mengundurkan diri secara sukarela. Tanpa menunggu menjadi tersangka, bahkan tak perlu susah-susah mendebat bahwa tudingan itu salah dan fitnah, mereka dengan sukarela melepaskan jabatan. Pada titik itulah bangsa ini sedang menuju tingkat martabat yang jauh lebih tinggi lagi.
Penetapan Idrus sebagai tersangka juga memperlihatkan bahwa Presiden Joko Widodo tetap merawat sikap independen penyidik yang tidak boleh diintervensi. Meski saat ini memasuki tahun politik, dan Golkar tempat Idrus bernaung menjadi salah satu partai pengusung capres Jokowi dan cawapres KH Ma’ruf Amin, Jokowi tetap tidak mau mengintervensi kasus hukum.
Harus tegas dikatakan bahwa Idrus yang menjadi tersangka di KPK itu bukti yang terang benderang bahwa pemerintah tidak pernah mengintervensi persoalan hukum.
Jokowi berulang kali menyatakan bahwa KPK harus kuat dan upaya pemberantasan korupsi tidak boleh melemah. Kini, dengan kasus Idrus, semakin mengonfirmasi bahwa Jokowi tidak berhenti pada ucapan, tapi nyata dalam tindakan. Tindakan yang tidak mau mengintervensi KPK karena negara masih membutuhkan upaya-upaya luar biasa dalam pemberantasan korupsi.
KPK yang kalah cepat dari Idrus untuk mengumumkan status tersangka tetap patut diberi acungan jempol. Penetapan Idrus sebagai tersangka lagi-lagi memperlihatkan komitmen KPK untuk menjaga wibawa hukum tetap tegak lurus, hukum yang juga tajam ke atas.
Penetapan tersangka jangan sampai berhenti pada Idrus. Sebelumnya KPK menetapkan politikus Partai Golkar yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih sebagai tersangka penerima suap. Semua orang, dari mana pun dia berasal dan apa pun status sosialnya, harus diperlakukan sama di depan hukum. Publik tetap menanti dengan sabar kejutan selanjutnya dari KPK, kejutan tersangka setelah Idrus.(IRC/metronews.com)